DALAM kisah pewayangan–selain cerita Mahabharata ada cerita lain yang tak kalah dasyatnya, yakni Ramayana. Dimana ending dari cerita tersebut adalah mengisahkan tentang gugurnya sang angkara murka bernama Rahwana yang merupakan raja Alengkadiraja ditangan kesatria Rama Ragawa. Meskipun Rahwana meninggal dan kerajaan Alengkadiraja dibakar oleh Hanoman, tapi jelang kematiannya Rahwana bersumpah, bahwa gelembung jahatnya tak akan mati begitu saja dan akan terus merasuki bagi siapapun manusia di dunia untuk berbuat jahat selama masih hidup di dunia.

Maka siapapun manusia yang dirasuki hawa nafsu kedengkian dan kebencian, gelembung jahat Rahwana itu akan cepat masuk untuk merasuki dan mengubah wujud karakter manusia yang asli, yakni penuh cinta dan kasih sayang.

Dari sumpah serapah Rahwana itulah membuat, Hanoman di sepanjang hidupnya selalu menjaga kawah pegunungan tempat raga Rahwana dibenamkan dalam kematian. Ia berharap agar gelembung – gelembung kejahatan Rahwana tersebut tidak muncul dan menganggu kehidupan manusia suatu saat nanti. Itulah salah satu kesetiaan Hanoman sebagai panglima perang dan sekaligus prajurit loyalis Rama.

Walaupun dalam prediksi dan analisa Hanoman yang menyatakan Rahwana tak akan bangkit kembali, tetapi dalam kenyataannya Hanoman juga bisa kecolongan juga. Tanpa disadari–gelembung jahat Rahwana itu mampu bereinkarnasi pada diri seoarang kesatria bernama Antareja.

Antareja adalah putra sulung dari Werkudara dari hasil pernikahannya dengan Dewi Nagagini. Antareja memiliki sifat jujur, pendiam, sangat berbakti pada yang lebih tua dan sayang kepada yang muda, rela berkorban dan besar kepercayaanya kepada Sang Maha Pencipta. Itulah karakter asli yang dimiliki oleh Antareja.

Meski memiliki sifat yang demikian dan sudah menjadi identitasnya–ternyata, Antareja bisa berubah total secara antagonis, ketika Patih Hastinapura bernama Sengkuni dan Begawan Druna mendatangani ke kediamannya di Jangkarbumi.

Dua tokoh Hastinapura yang dikenal licik dan jahat tersebut—mampu meniupkan informasi “hoax” kepada Antareja agar memprotes dan merasa di dholimi oleh para Pandawa atas keputusan diangkatnya adik kandungnya nomor dua bernama Gatutkaca yang menjadi raja di kerajaan Pringgondani. Para Pendawa dianggap oleh para “begundal” Hastinapura itu melakukan emban cindhe emban siladan (pilih kasih atau tidak adil), dimana yang seharusnya menjadi raja di Pringgondani tersebut menurut logika adalah Antareja, karena dia adalah anak paling sulung dan bukan seorang Gatutkaca anak nomor dua Werkudara.

Mendengar ocehan “hoax” dari ucapan dua tokoh jahat yang provokatif dan propaganda itu, langsung saja darah Antareja seketika itu mendidih disertai matanya gelap gulita. Anehnya pula, dia telan mentah – mentah informasi yang diberikan oleh Sengkuni dan Druna tanpa filter sama sekali, pada hal salah satu misi kedua tokoh jahat tersebut adalah melakukan adu domba “perang saudara” antara Antareja dan Gatotkaca, serta kegaduhan dan kekacauan dalam kedamaian keluarga Pandawa.

Selain itu juga, misi dua provokator handal itu adalah atas perintah dari sang boss besar dari istana Hastinapura bernama raja Duryudana, yang tak menginginkan Gatotkaca yang merupakan anak keluarga Pandawa itu menjadi raja kerajaan Pringgondani. Dengan alasan, secara geopolitik ketika Gatotkaca berkuasa dan jadi raja di Pringgondani maka akan memperluas kerajaan wilayah Indraprasta yang dipimpin oleh para Pandawa. Dengan menggagalkan Gatotkaca menjadi raja dan terjadi perang saudara, maka akan memperlemah kekuatan para Pandawa sebelum perang suci Bratayudha terjadi.

Ternyata misi Duryudana yang dioperatori dan sekaligus dieksekutori oleh kedua elit Hastinapura itu sangat berhasil mempengaruhi Antareja untuk marah membabi buta, sehingga memudahkan gelembung – gelembung jahat Rahwana itu merasuk dalam jiwa dan raganya.

Sementara modal kejujuran dan kealiman pada diri Antareja ternyata tak cukup buat dirinya untuk menjadi manusia yang baik dan tidak terpengaruh atas hoax yang diperolehnya.

Seharusnya sebagai kesatria yang handal Antareja tak demikian, dia harus memiliki ilmu pengetahuan dan literasi yang luas atas segala hal informasi yang diperolehnya, sehingga tidak dengan mudah menyerap informasi yang belum tentu kebenarannya. Sayang itu tak dimiliki oleh Antareja sang pangeran Jangkarbumi itu.

Pada hal perlu diketahui, Gatotkaca menjadi raja Pringgodani dikarenakan dirimya anak Werkudara dari istri bernama Dewi Arimbi. Sementara Dewi Arimbi adalah anak kandung dari raja Pringgondani, ketika raja Pringgondani meninggal dunia maka pewarisnya adalah Dewi Arimbi, namun karena dia punya anak laki – laki yang gagah dan sakti. Maka Dewi Arimbi memberikan kerajaan itu kepada putra kesayangannya dari pernikahan dengan Werkudara bernama Gatotkaca.

Literasi pengetahuan sejarah itulah yang tak dipahami oleh Antareja, sehingga ia cenderung larut dalam kebencian dan dendam kesumat akibat gelembung jahat Rahwana yang ditiupkan dari racun hoax oleh dua penjahat dari pejabat tinggi Hastinapura. Sehingga ia berupaya untuk menggugat para Pendawa dan berusaha menggagalkan pra jabatan adiknya Gatotkaca yang jadi raja.

Bahkan nasehat – nasehat yang baik dari sang adik bernama Antasena anak ketiga Werkudara, untuk bersama – sama hadir diacara pelantikan Gatotkaca saja tak dia dengarkan. Bahkan sempat terjadi perkelahian antara Antareja dan Antasena karena jiwa dan raga Antareja telah dirasuki oleh gelembung jahat Rahwana.

Meski dihajar habis – habisan oleh sang kakak, Antasena tak melawan sama sekali—karena dia tahu yang merasuki saudara tuanya itu bukan Antareja sesungguhnya.

Tak puas melakukan kekerasan kepada sang adik kandungnya, Antareja kemudian dengan keberingasnya mendatangani istana Indraprasta untuk menemui para Pandawa. Dengan segala kemarahannya ditumpahkan semua kepada para Pandawa, bahkan dengan kekalapanya itu orang tua kandungnya sendiri si Werkudara dilawanya.

Beruntung, Krisna yang selalu bersama para Pandawa tahu, bahwa Antareja sedang kerasukkan gelembung jahat Rahwana. Dengan kekuatan dan kesaktian yang dimilikinya—akhirnya dia bisa memanggil Hanoman yang selama ini menjaga kawah gunung tempat raga Rahwana ditenggelemkan untuk datang segera ke Indraprasta.

Melihat Antareja kerasukan Rahwana—Hanoman langsung mengeluarkan besi kuning senjatanya untuk mengusir gelembung Rahwana yang melekat pada jiwa dan raga diri Antereja. Seketika itu juga Antareja pingsan kena besi kuning Hanoman, sementara gelembung jahat Rahwana akhirnya keluar secara sendiri dari tubuh Antareja dan minta ampun kepada Hanoman untuk diijjnkan pulang kembali ke kawah gunung tempat asalnya.

Setelah gelembung jahat Rahwana hilang pada diri Antareja, beberapa jam kemudian akhirnya dia terbangun dan tersadarkan diri. Saat ditanya Krisna dan para Pandawa Antareja tak tahu peristiwa yang dilakukan sebelumnya. Namun setelah diberi tahu oleh sang Krisna, akhirnya ia sadar dan mengaku bersalah atas sikap dan tindakannya. Kemudian dia meminta maaf kepada Krisna dan para Pandawa sebagai orang tuanya untuk tak mengulangi peristiwa itu kembali. Antareja berjanji kepada mereka untuk selalu mendukung sang adik Gatotkaca menjadi raja Pringgondani.

Sementara Krisna yang dikenal bijak itu sempat menyampaikan pesan kepada Antareja dan para Pendawa, bahwa gelembung jahat Rahwana tak akan lelah mempengaruhi manusia untuk melakukan perbuatan kejahatan dengan berbagai hasutan. Hanya orang yang mampu eling lan waspodo dan memiliki ketaqwaan kepada sang Maha Kuasa akan selalu dijauhi dari gelembung jahat Rahwana. Ditambah dengan perlunya menjadi manusia untuk selalu mengasah ilmu pengetahuan yang tinggi agar tak mudah dirasuki oleh gelembung– gelembung jahat Rahwana kelak nanti.
(Padepokan Lereng Gunung Muria, Jawa Tengah)

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini