PUBLIK terkejut. Jagad maya pun ribut. Ini gegara Kapolsek  Astana Anyar, Kota Bandung, Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi terciduk  tim reserse antinarkoba Polda Jabar. Polwan cantik kelahiran Sidoarjo, 23 Juni 1971 ini diciduk “rekan sejawat”nya  17 Februari 2021 di Bandung.

Ini kasus mengejutkan. Isu yang berkembang di media sosial (medsos), Kompol Yuni ditangkap polisi saat sedang pesta narkoba bersama 11 aparat kepolisian lain dari Polsek Astana Anyar. Padahal, kata Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol. Erdi A. Chaniago, mereka ditangkap secara terpisah di berbagai tempat di Bandung. Tapi kasusnya, memang terkait dengan penangkapan Kompol Yuni. Yang jelas, Kompol Yuni dan 11 polisi terciduk itu, menjadi tersangka penyalahgunaan narkoba.

Di medsos, banyak orang mempertanyakan — kenapa Kompol Yuni yang cantik, yang sebelumnya dikenal sebagai polwan berprestasi dalam menangkap pengedar, bahkan mafia narkoba — berujung fatal – menjadi tersangka penyalahgunaan obat terlarang itu?

Sewaktu masih di tim reserse antinarkoba Polresta Bogor, misalnya, Polda Jabar tabik kepada Yuni. Ia satu-satunya  reserse perempuan yang berhasil menangkap gembong narkoba,  AS dan YA, di Desa Kranggan, Kecamatan Gunug Putri, Kabupaten Bogor, 30 Maret 2019 lalu.  Luar biasa prestasi Yuni.

Setelah itu sejumlah prestasi diraih Yuni dalam penangkapan para pemakai dan pengedar narkoba. Tapi kenapa sekarang justru dia sendiri terjerat kasus yang selama ini diburunya?

Komjen Pol (Purn.) Ahwil Lutan yang pernah menjabat Komandan Pusat Pendidikan Reserse Polri – kini dosen ilmu kepolisian UI Jakarta – menyatakan, personil reserse itu adalah orang-orang terpilih. Bukan hanya kecerdasan otak dan kesehatan fisiknya yang prima, tapi juga kesehatan jiwanya harus prima. Pekerjaan reserse sangat sulit dan menantang karena harus mampu mengalahkan strategi para pengedar  dan  mafia narkoba. Tanpa itu, sulit mendeteksi dan menangkap mereka. Dan Kompol Yuni mampu melakukannya. Sudah puluhan, bahkan ratusan pengedar narkoba ditangkap Yuni. Dengan prestasinya itu, di Polda Jabar, Yuni mendapat julukan Srikandi Antinarkoba.  Itulah sebabnya, Polwan cantik ini karirnya terus menanjak. Sampai kemudian ia terkapar akibat kasus yang selama ini diburunya.

Apa yang bisa diambil pelajaran dari kasus Yuni? Ahwil Lutan mengungkapkan, mafia narkoba sekarang sudah memasuki dan memengaruhi hampir semua sudut di instansi pemerintah. Di semua instansi pemerintah – kata Ahwil – ada pemakai narkoba, ujarnya dalam wawancara dengan TVOne, 19 Februari 2021 lalu di Jakarta. Ahwil mengaku punya catatan “mengerikan” itu.

Apa yang dikatakan Ahwil pernah juga dikatakan Komnjen Pol. Budi Waseso (Buwas) waktu menjabat Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), 2015-2018.  Kata Buwas, narkoba kini sudah masuk ke desa-desa. Sasarannya, bukan hanya remaja dan dewasa – bahkan anak-anak SD dan TK. Sekarang sering ditemukan, permen untuk anak-anak yang berbahan baku narkoba. Jadi sejak dini, anak-anak sudah dibiasakan menggunakan narkoba. Jika sudah demikian, Buwas mengingatkan, Indonesia segera menjadi negeri narkoba. Saat ini saja, bila kita melihat perkembangan pemakai narkoba, Indonesia sebetulnya sudah berada dalam pososi “darurat narkoba”.

Saat ini, pemakai narkoba diperkirakan hampir mencapai  5 juta orang. Di masa pendemi Covid-19, penyalahgunaan narkoba meningkat pesat. Banyak orang stres karena menganggur, tak bisa rekreasi, lelah mengajar anak-anaknya di rumah karena tak masuk sekolah, dan macam-macam. Pelariannya, tak sedikit yang pakai narkoba. Harapannya, menghilangkan stres dan beban hidup yang makin berat. Yang terjadi, sebaliknya. Mereka makin stres dan beban hidupnya makin berat.

Kini, tiap hari 50 orang lebih tewas akibat penyalahgunaan narkoba. Dan kerugian negara akibat penyalahgunaan narkoba mencapai Rp 72 Triliun lebih tiap tahun. Luar biasa!

Suplai narkoba ke Indonesia, jelas Buwas, berasal dari 11 negara dan dikendalikan oleh 72 jaringan mafia. Kesebelas negara itu, antara lain, beberapa negara di Afrika Barat, Iran, Tiongkok, Pakistan, Malaysia dan sejumlah negara di Eropa. Dan Penghasilan setiap jaringan mafia narkoba dalam setahun mencapai Rp 3,6 Triliun.

Sasaran perdagangan gelap narkoba sangat luas dan beragam. Mereka menyasar, mulai dari kalangan elite yang memiliki kekuasaan, seperti eksekutif, legislatif, pengusaha, tokoh politik, bahkan agama; lalu artis, mahasiswa, pelajar hingga ke kalangan akar rumput. Kalangan terakhir ini biasanya dimanfaatkan oleh bandar jaringan narkotika untuk menjadi pengedar di lapangan. Dari upah sebagai pengedar inilah mereka bisa membeli narkoba yang harganya sangat mahal.Yang paling mengejutkan, sebagian besar bos-bos mafia itu berada dalam lembaga pemasyarakatan (LP)  di Indonesia. Ini artinya, LP nyaris tak berfungsi untuk menghentikan kegiatan bos-bos mafia narkoba tersebut.

Dari latar belakang itulah, kita melihat lebih jauh kenapa Srikandi antinarkoba, Kapolsek  Astana Anyar Kota Bandung,  Yuni Purwanti  bisa terjerat barang haram itu.  Kita ingat, Oktober 2020, Pengadilan Negeri Dumai,  menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Rapi Rahmat Hidayat, oknum polisi yang menjadi kurir 10 kg sabu. Juli 2018, seorang Wakil Direktur Narkoba Polda Kalbar AKBP Hartono dicokok polisi karena masalah narkoba. Kasusnya ditangani Diektorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya. Oktober 2016, Bupati Ogan Ilir Ahmad Waziur Nofiadi, dipenjara karena  kasus narkoba. April 2019, hakim PN Liwa Lampung Firman Affandi divonis penjara  7 tahun 6 bulan dan denda Rp 800 juta karena kasus barang haram tadi. Contoh-contoh tersebut masih banyak. Hampir semua lapisan masyarakat sudah tersusupi narkoba.

So what? Kasus narkoba yang menimpa Kapolsek Yuni Purwanti di Bandung yang menggegerkan itu, sebetulnya hanya puncak gunung es dari permasalahan narkoba yang meluas dan membesar di Indonesia. Pinjam, istilah Buwas di atas – Indonesia sat ini sudah dalam kondisi “Darurat Narkoba”. Untuk mengatasinya, Polri – seperti dikatakan Indragiri Amriel – ahli psikologi forensik, dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta —  harus melakukan pembenahan, baik secara internal maupun eksternal. Kenapa, misalnya, seorang polisi berprestasi bisa terjerat narkoba? Apa karena Yuni memang Polwan nakal, atau sistem kerja di reserse Polri yang melelahkan dan mencekam sehingga polisi menanggung beban keja  di luar kemampuannya?

Lalu, kenapa  gembong-gembong narkoba tidak kapok, bahkan ketika di penjara mereka masih mampu mengendalikan bisnis barang haramnya di luar?  Ini harus dipikirkan serius untuk mengatasinya.

Saat ini, 50% ruang Lapas di Indonesia, kata Kepala BNN Komjen Pol. Petrus  R. Golose, dipenuhi narapidana narkoba. Sedangkan Lapas di kota besar, 70% dipenuhi mereka yang terjerat obat terlarang itu. Kondisi ini jelas mengkhawatirkan. Menurut Buwas, Indonesia sekarang ini sudah menjadi “pusat narkoba” dunia. Indonesia bukan hanya menjadi pasar narkoba yang menggiurkan, tapi juga menjadi produsen yang menggairahkan.

Apakah kondisi seperti ini akan dibiarkan terus menerus?  Kita, bangsa Indonesia harus berani mengatakan  Say No to Drugs secara konsisten jika ingin menyelamatkan negeri ini dari kepungan narkoba yang makin mencekam dan mematikan.

*komisioner Komnas HAM 2002-2007

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini