Oleh Benu Pangestu*

PERKARA yang disangkakan kepada Imam Besar FPI Habib Muhammad Rizieq Syihab (HRS) atas dugaan tindak pidana Penghasutan di acara pernikahan puterinya pada tanggal 14 November 2020 lalu yang berlokasi di kediaman HRS di Petamburan Jakarta Pusat menjadi perhatian publik nasional. Hal Itu juga mendapat reaksi keras dari jutaan pendukung HRS. Hal ini terlihat dari berbondongnya ribuan pencinta HRS meminta untuk ikut ditahan di Polres Polres dan Polsek Polsek sebagai ungkapan simpati kepada HRS, mulai dari kota-kota di Jawa Barat , Banten, Jabotabek, Lampung, Aceh, Jateng, Jatim ,Madura hingga Kalimantan.

Perkara ini menjadi berita berkepanjangan dalam seminggu ini hingga minggu-minggu ke depan terlihat dengan semakin bergejolaknya emosi masyarakat terkait kasus penembakan 6 pengawal HRS dalam peristiwa hukum yang saat ini masih di dalami pihak Komnas HAM RI.

Dalam konteks perkara yang disangkakan terhadap HRS dan 5 pimpinan pusat FPI, HRS telah ditahan oleh penyidik Polda Metro Jaya. Penahanan dilakukan setelah HRS diperiksa lebih dari 12 jam pada 12 Desember 2020. Penahanan dilakukan setelah pemeriksaan panjang selama 11 Jam dengan 84 pertanyaan, oleh tim Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. HRS akhirnya ditahan di sel Narkotika Polda Metro Jaya.

Selain HRS, 5 tokoh inti FPI yang juga adalah selaku panitia pada acara pernikahan dan Maulid Nabi tersebut, turut menjadi tersangka yaitu Ust Ahmad Shabri Lubis (Ketua Umum FPI), Haris Ubaidillah (Bendahara), Hb Idrus Al Habsyi (Ketua Lembaga Dakwah Front), Hb Ali Alatas (Ketua Front Mahasiswa Islam), dan Maman Suryadi (Panglima Laskar Pembela Islam).

Agak berbeda dengan HRS, ke 5 pengurus inti DPP FPI tersebut justru hanya disangkakan melanggar Pasal 93 UU Karantina Kesehatan dan tidak di lakukan penahanan.

Mendalami pasal yang di kenakan terhadap HRS, perkara ini akan terlihat menjadi sangat sulit ditarik kedalam sangkaan pasal pasal pidananya terkait dengan berbagai pertanyaan apa yang di hasut oleh HRS, bagaimana rupanya bentuk penghasutan yang dilakukan pada acara pernikahan puterinya sendiri itu? Apakah ada bukti rekamannya? Dan bagaimana pula bentuk pelanggaran ke-5 tokoh inti FPI tersebut?

Bahwa HRS disangkakan melanggar pasal 160 KUHP yaitu Penghasutan Penguasa Umum dan pasal 216 KUHP yaitu Tidak Menuruti Perintah Pegawai Negeri yang Bertugas. Sedangkan ke-6 pengurus FPI lainnya disangkakan melanggar pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan akan terlihat menjadi tidak relevan terkait pernyataan Munarman kuasa hukum HRS. Bahwa dari 84 pertanyaan penyidik hanya bertanya seputar mengenai hal umum mengenai Habib Rizieq, mengenai FPI, anggaran dasar FPI, namun belum masuk pada inti pemeriksaan yaitu tudingan mengenai Penghasutan Penguasa Umum.

Pelanggaran pasal 93 UU Karantina Kesehatan yang disangkakan terhadap 5 Pengurus FPI, yang berbunyi: “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000”.

Karena terkait dengan penegakan hukum dalam konteks pencegahan dan penanggulangan pandemi covid19, locus delicti Petamburan dan seluruh wilayah lainnya di DKI Jakarta, tidak diterapkan UU Karantina. Pemprov DKI hanya melakukan Pembatasan Sosisl Berskala Besar (PSBB ) yang diatur Dalam Pergub DKI Jakarta bukan oleh UU Karantina Kesehatan.

Merujuk kepada Instruksi Presiden RI Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Peningkatan Disiplin Dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019, menginstruksikan para gubernur / bupati / walikota menyusun peraturan untuk memuat sanksi berupa: a) teguran lisan; atau teguran tertulis; b) kerja sosial; c) denda administratif; d) penghentian atau penutupan sementara penyelenggaraan usaha. Tidak ada hukuman penjara yang dikenakan.

Kemudian dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 79 Tahun 2020 Tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019, ketentuan pidana hanya ada pada pasal 24 ayat 1 yaitu larangan menolak pengurusan jenazah dan ayat 2 yaitu larangan mengambil paksa jenazah yang pada ayat 4 pengenaan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dilaksanakan oeh Kepolisian. Sehingga pelanggaran protokol kesehatan yang menyebabkan keramaian tidak ada dan tidak bisa mempidana penjara pelanggarnya.

Faktanya pula, bahwa HRS dan DPP FPI telah dijatuhi sanksi denda oleh Pemprov DKI sebesar 50 juta rupiah lewat Surat Kepala Satpol PP DKI Jakarta Nomor 2250/-1.75 berdasarkan Pergub DKI Nomor 79 Tahun 2020, karena terjadinya keramaian atau kerumunan pada acara pernikahan puteri HRS dan terkait acara Maulid Nabi pada tanggal 14 November 2020, denda yang telah disampaikan tanggal 15 November 2020 oleh pihak pemprov DKI dan telah dibayar oleh pengurus FPI.

Sebagai Lex Specialis (hukum khusus) yang telah diterapkan oleh Pemprov DKI selaku otoritas Satgas Covid Provinsi DKI Jakarta, yaitu berdasarkan Pergub DKI Nomor 79 Tahun 2020 dan Pergub DKI Nomor 80 Tahun 2020, semestinya Polda Metro Jaya tidak bisa melakukan penegakan hukum kembali terhadap HRS dan 5 Pengurus FPI lainnya dalam 1 kasus yang sama. Karena untuk kasus hukum itu telah diberi sanksi denda oleh Pemprov DKI.

Sehingga perkara yang di rangkaikan kepada HRS dan 5 tokoh inti FPI ini di tengah masyarakat menjadi terkesan sebagai upaya tindak pidana yang dipaksakan kepada HRS sebagai ulama populer yang selalu berbeda pendapat dengan penguasa.

Tudingan penghasutan yang disangkakan terhadap HRS, dengan pasal 160 KUHP yaitu: “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Melihat dari sisi sangkaan pasal 160 KUHP tersebut, tentu nya penyidik harus memiliki bukti hukum yang kuat agar dapat di ketahui masyarakat luas secara jelas dimana narasi penghasutan yang dilakukan oleh HRS, maupun bentuk kekerasan verbal apa yang di sampaikan HRS terhadap penguasa umum maupun aparat. Hingga saat ini penulis juga masih bertanya tanya dan belum menemukan satupun sunber berita atau informasi mengenai adanya suatu tindak pidana atau kekerasan yang terjadi pada acara pernikahan tersebut.

Sedangkan pasal 216 KUHP yang juga disangkakan terhadap HRS berbunyi: “(1) Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang- undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah”.

Mengenai penahanan HRS, berdasarkan KUHAP pasal 21 (4) : “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih”. Dikaitkan dengan pasal 160 KUHP mengenai Penghasutan yang menjadi tudingan utama, dan tidak ada satupun informasi mengenai terjadinya hal tersebut, sehingga pasal 160 yang disangkakan tersebut menjadi tidak relevan.

Ini akan menjadi perkara hukum pertama yang terjadi di Indonesia terkait dengan dugaan pelanggaran peraturan dalam situasi pencegahan dan penanganan pandemi covid19 yang saat ini dumana korban kasus positip Covid 19 telah mencapai angka 600.000 lebih kasus positip selama 9 bulan terakhir ini.

Sangkaan tindak pidana yang di kenakan kepada HRS yaitu (Pasal 160 KUHP), dan delik (Pasal 216 KUHP), dan dugaan pelanggaran Instruksi Presiden RI Nomor 6 Tahun 2020 saat ini telah mendapat pengajuan pra keadilan dari pihak kuasa hukum HRS. Publik dan seluruh pemerhati hukum di negara kita menunggu proses dan hasil praperadilan dalam waktu dekat ini.

Kita semua berharap keadila yang sebenarnya akan dapat di tegakkan oleh hakim pra peradilan di pengadilan negeri dengan melihat fakta hukum dan aspek keadilan yang berlaku dalam sistem hukum negara kita.

*Penulis adalah Alumni S2 Hukum Pidana Unpad, Advokasi Al-Islam & NKRI (AAN), Div. Hukum APIB DKI Jakarta

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini