Oleh Himawan Sutanto*

MUNCULNYA terorisme yang dilakukan oleh para milenial adalah bukti kegagalan aparat dan intelijen dalam menangani terorisme. Hal itu tampak dengan maraknya kembali kegiatan terorisme dengan terang-terangan. Pertanyaannya adalah seberapa jauh para mantan teroris di Indonesia yang sudah sadar dan diurusi oleh negara? Sebab selama ini saya lihat tidak adanya satu langkah yang sama antara pejabat yang diganti oleh pejabat baru.

Sementara Itu, Charles Kegley dan Eugene Witkoff (The Global Agendas Issues and Perspectives) mengemukakan, sebanyak 109 definisi tentang terorisme, namun para ahli setuju bahwa terorisme adalah suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan menggunakan ancaman kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan korban sebanyak mungkin.

Dari kasus di atas kita coba dengan pepatah yang dikatakan oleh Soekarno, “Jika kamu bicara politik, jangan ajak ahli hukum. Begitu juga sebaliknya.” Kalimat Soekarno itu sangat sederhana akan tetapi memiliki makna yang dalam. Sekarang justru kalimat Soekarno itu memberikan kenyataan bahwa bangsa kita mengalami “Anomali Politik” yang sangat amat nyata. Dimana hukum sudah dijadikan alat politik kekuasaan.

Saya melihat sejak dari awal rejim ini hadir “telah” membuat pembelahan di antara rakyat dengan rakyat dan itu menjadi terbuka setelah pilkada DKI Jakarta 2017. Cara yang dilakukan rejim ini tidak menunjukkan kondisi persahabatan antar warga dengan baik, akan tetapi lebih dijauhkan dengan logika kewarasan.

Milenial Menjadi Terorisme

Melihat realitas rakyat yang tidak mendapatkan pencerahan kondisi bangsa yang sebenarnya, maka para milenial mencari sendiri wacana tentang kegelisahan yang terjadi di dunia maya atau sosial media. Menurut ahli grafolog bahwa perempuan menjadi bomber adalah karena dorongan emosi yang tidak jelas mas depannya (bagi pasangan) dan marah karena kondisi sosial tidak berpihak ke dirinya.

Kemudian ketemulah dengan para mentor yang mampu meyakinkan kepada dirinya tentang kondisi sosial kita. Apalagi ada gurauan di masyarakat bahwa “Kalau mengebom gereja dikatakan teroris, sementara kalau membunuh ustadz di masjid dikatakan gila” hal itulah banyak para milenial mencari jawabnya sendiri. Sebab ormas keagamaan, kyai, ulama banyak yang tidak adil dan dipertontonkan secara gamblang di tengah kehidupan kita, misal adalah partisan kekuasaan yang cenderung memberikan argumentasi yang tidak memberi kepuasan pada mereka.

Pertanyaannya adalah kenapa harus para mileneal yang siap melakukan bom bunuh diri ?
Pertanyaan itu secara gamblang bisa kita cari jawaban dari diri kita masing-masing, bahwa keadilan sosial belum menyentuh secara konkrit kepada rakyat. Sehingga wajar jika para milenial mencari sendiri dengan berselancar kedalam dunia maya.

Sementara Anomali politik yang saya katakan diatas memberikan kenyataan bahwa hukum telah dipakai alat kekuasaan untuk melakukan penekanan terhadap kelompok yang anti pemerintah, misalnya dibubarkannya HTI dan FPI adalah hasil produk politik yang dibunuh secara sadis tanpa proses pengadilan. Bahkan cap “radikal dan intoleran” diberikan kepadanya. Pembunuhan 6 laskar FPI sebagai pengawal HRS juga bagian dari pembusukan FPI agar dapat legitimasi dari rakyat.

Hal-hal seperti itulah yang menjadikan kekuasan mempertontonkan cara-cara yang tidak elegan. ada obsesi pemerintah dengan FPI seolah-olah ini membuktikan bahwa FPI terkait terorisme. Sebetulnya, menurut bahwa beberapa orang, bukan beberapa, tapi ratusan orang Makassar, ikut satu program pembaiatan massal pada bulan Januari tahun 2015, jadi sudah lama ya. Dan pada waktu itu memang ada kolaborasi antara FPI dan Ustaz Basri dan Ustaz Basri yang menjadi pimpin dari pembaiatan itu, kata Sidney Jones dalam dalam tayangan D’Rooftalk: ‘Teror Bomber Milenial’ yang dikutip detikcom, Selasa (30/3/2021).

Depok, 8 April 2021
*penulis adalah pemerhati masalah budaya – politik

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini