JALKARTA – Eksplore.co.id  – Pesiden Joko Widodo didesak agar segera membatalkan perpanjangan kontrak pengelolaan Blok Corridor, Sumatera Selatan, kepada ConocoPhillips. Sebab, prerpanjangann kontrak itu bertentangan dengan konstitusi, mengurangi potensi pendapatan negara, dan tidak sejalan dengan upaya peningkatan ketahanan energi nasional. Dan diduga ada unsur korupsi karena berpotensi merugikan keuangan negara.

Peringatan itu dilontarkan Direktur Eksekutif Indonesia  Resources Studies (IResS) Marwan Batubara menyusul adanya keputusan perpanjangan kontrak pengelolaan ladang minyak tersebut oleh Kementerian ESDM kepada ConocoPhillips sebagai operator eksisting. Keputusan itu dibuat pada tanggal 22 Juli 2019 bertempat di kantor Kementerian ESDM, Jl. M.H Thamrin, Jakarta.

Kontrak awal Blok Corridor ditandatangani pada 21 Desember 1983 dengan tiga kontraktor kontrak kerja sama (KKKS), yaitu ConocoPhillips (54%), Talisman (36%) dan Pertamina (10%). Kontrak blok migas tersebut akan berakhir pada 19 Desember 2023. Dengan perpanjangan kontrak, KESDM  menetapkan komposisi pemilikan saham berubah menjadi ConocoPhilips 46%, Pertamina 30%, dan Repsol 24%. Blok Corridor merupakan blok gas terbesar ketiga di Indonesia setelah Proyek Tangguh dan Blok Mahakam.

Sampai akhir Juni 2019, realisasi lifting gas dari Blok Corridor tercatat sebesar 827 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd). Dalam jumpa pers di Jakarta Senin (22/7/2019) Menteri ESDM menyatakan pemberian perpanjangan pengelolaan Blok Corridor selama 20 tahun hingga 2043 didasari antara lain oleh pertimbangan signature bonus (US$ 250 juta dan komitmen kerja pasti (US$ 250 juta). 

Pengelolaan Blok Corridor disebutkan akan menggunakan skema bagi hasil kotor (gross split). Kontrak bagi hasil akan menerapkan skema gross split dimana KKKS memperoleh jatah 48,5% untuk minyak dan 53,5% untuk gas. “Keputusan Kementerian ESDM di atas didasarkan pada Permen ESDM No.23/2018 yang inskonstitusional, tutur Marwan dalam rilis yang diterima Eksplore.co.id, Selasa (23/7/2019).

Dia menuturkan, sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said telah menerbitkan Permen ESDM No.15/2015 yang memberi prioritas pengelolaan blok-blok migas habis kontrak kepada Pertamina. Namun, setelah Ignatius Jonan menjadi Menteri ESDM, Permen ESDM No.15/2015 tersebut diubah dengan Permen No.23/2018. Permen No.23/2018 ini sengaja disiapkan guna memberi kesempatan kepada asing untuk terus bercokol menguasai pengelolaan migas nasional walau telah mengelola puluhan tahun.

Diungkapkannya, berdasarkan Putusan MK No.36/PUU-X/2012 wilayah kerja (WK) migas hanya boleh dikelola BUMN sebagai wujud penguasaan negara. Hal ini sesuai amanat Pasal 33 UDD 1945 di mana negara melalui Pemerintah dan DPR, berkuasa untuk membuat kebijakan, mengurus, mengatur, mengelola, dan mengawasi sumber daya alam milik negara. Khusus untuk pengelolaan, penguasaan negara dijalankan pemerintah melalui BUMN. Jika pemerintah patuh pada konstitusi, maka tidak ada alternatif lain kecuali menyerahkan pengelolaan WK migas yang KKS-nya berakhir kepada BUMN.

IResS menilai, Permen ESDM No.23 juga bertentangan dengan UU Energi No.30/2007. Pasal 2 UU Energi menyatakan energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, berkeadilan, berkelanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan hidup, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional. Pasal 4 UU Energi menyatakan dalam rangka mendukung pembangunan nasional berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, maka sumber daya energi fosil, panas bumi, hidro skala besar, dan sumber energi nuklir dikuasai negara dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Sedangkan, Permen ESDM No.23/2018 menyimpan misteri kemungkinan terjadinya korupsi dan perburuan rente melalui penunjukan langsung kontraktor KKS eksisting untuk melanjutkan pengelolaan suatu WK migas. Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan produksi migas di Blok Corridor akan stabil jika ditemukan tambahan cadangan. Saat ini, cadangan gas terbukti di blok ini tercatat sebanyak 4 triliun kaki kubik (TCF). “Mungkin sampai 2043, itu tinggal beberapa TCF. Kalau dikalkulasikan sampai 2026, kemungkinan tinggal 2 TCF,”  kata Dwi ketika itu.

Marwan berhitung, jika diasumsikan cadangan tersisa Blok Corridor sekitar 3 TCF dan harga rata-rata gas adalah US$ 8-10/mmbtu, maka potensi pendapatan kotor Blok Corridor (sebelum dipotong biaya eksploitasi) adalah sekitar US 24 – 30 miliar atau sekitar Rp 336 – 420 triliun, pada kurs Rp 14.000 per US$.  Biaya akuisisi cadangan terbukti suatu blok migas berkisar antara 10% hingga 15% nilai cadangan. “Oleh sebab itu, maka biaya akuisisi 100% cadangan Blok Corridor adalah (10% – 15%) x US (24-30) miliar = US$ 2,4 miliar – US$ 4,5 miliar,” ujar mantan anggota DPD RI Daerah Pemilihan DKI Jakarta ini.

Pada kenyataannya, KESDM “membiarkan” kontraktor-kontrator asing yang akan menguasai 70% saham Blok Corridor (30% akan dikuasai Pertamina) cukup membayar 70% x US 250 juta (sebagai signature bonus), atau sekitar US 175 juta. “Wuiih, enak benar nih kontraktor asing, dapat durian runtuh! Kenapa pula KESDM membiarkan kontraktor-kontraktor asing tersebut membayar aset negara sangat murah? Saya  yakin, KESDM bukan tidak faham tentang praktek-praktek yang berlaku umum dalam akuisisi blok-blok operasional di seluruh dunia,” ujarnya.

Belajar Kasus Freeport
IRESS pun mengingatkan kasus divestasi saham Freeport yang merugikan negara. Karena, Indonesia harus membayar US$ 3,85 miliar kepada Freeport McMorant pada 2018 untuk mengakuisisi 42% saham. Pembayaran yang tinggi tersebut terutama didasarkan pada cadangan emas dan tembaga yang masih sangat besar, dan “diakui oleh pemerintah sesuai klaim” Freeport McMoran hingga 2041.

“Barang berharga milik bangsa sendiri ‘bersedia dibayar  sangat mahal oleh pemerintah’ agar dapat dikelola oleh BUMN. Lantas, mengapa untuk Blok Corrridor, yang tidak memiliki aspek dan kisruh kontrak yang rumit seperti pada kontrak Freeport, tidak dapat dikuasai dengan mudah oleh BUMN bangsa sendiri, malah Anda (Pemerintah RI) memperpanjang untuk dikelola asing dengan harga sangat murah pula?,” kata Marwan geram.

Karena itu, IResS menilai, hal-hal di atas menunjukkan seperti apa kinerja dan komitmen pemerintah untuk meningkatkan ketahanan dan kedaulatan energi nasional. Bukan saja tidak mendukung dominasi BUMN untuk menjadi tuan di negara sendiri, pemerintah pun malah terus memberi peluang kepada swasta dan asing untuk mengambil hak-hak dan porsi bisnis milik BUMN. Pihak BUMN telah menjadi korban kebijakan populis dalam program-program subsidi energi, BBM satu harga, bio energi, dan lain-lain.

“Untuk dapat mengelola Blok Rokan pada 2021, pemerintah telah memaksa Pertamina membayar Rp 11 triliun pada 2018. Padahal penguasaan Blok Rokan tersebut adalah hak konstitusional Pertamina, tanpa harus membayar bonus,” kata Marwan kagi.

Pengawasan DPR & KPK
Memperhatikan berbagai anomali kebijakan di atas dan guna mencegah terjadinya kerugian negara, IResS menuntut agar DPR segera menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah, sekaligus meminta pembatalan perpanjangan kontrak Blok Corridor.  “Selain itu, kami juga menuntut agar KPK segera melakukan penyelidikan terhadap pihak-pihak terkait atas kemungkinan adanya potensi korupsi dan kerugian negara dalam kebijakan tersebut,” katanya.

Dari pengalaman sebelumnya, karena ada surat dari KPK kepada Presiden Jokowi, Kementerian ESDM membatalkan perpanjangan kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Batu Bara (PKP2B) yang semula diberikan kepada PT Tanito Harum pada Januari 2019. KPK melakukan hal tersebut karena kebijakan Jonan melanggar UU Minerba No.4/2009. Pada kasus Blok Corridor yang terjadi adalah pelanggaran konstitusi dan UU, serta juga adanya potensi kerugian keuangan negara dan penurunan ketahanan energi nasional. “Akankah KPK bersikap sama?”

“Sebelum terlambat, kami kembali mengingatkan agar Presiden Jokowi segera membatalkan perpanjangan pengelolaan Blok Corridor tersebut kepada asing,” tutur mantan GM di Indosat ini. Toh sebelumnya Presiden pernah berjanji akan menjadikan Pertamina mengungguli Petronas. “Semoga tidak lupa ya,” kata Marwan mengakhiri pernyataannya. (ag2)
 

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini