BUMN-Care Pertanyakan Penguasaan Lahan PTPN-8 Oleh Sejumlah Pejabat
JAKARTA (Eksplore.co.id) – Sengketa tanah atau land dispute yang terjadi antara pihak PTPN 8 sebagai pemegang Hak Guna Usaha (HGU ) tanah Perkebunan milik negara dengan lahan Ponpes Agrikultura Markas Syariah milik ulama terkenal Habib Rizieq Shihab seluas 30 ha, melebar menjadi isu pertanahan yang lebih luas dan memprihatinkan.
BUMN-Care memperkirakan somasi dan ultimatum pengosongan lahan ponpes oleh pihak PTPN 8 tersebut tidak hanya jadi polemik dan mulai memasuki ranah hukum kedua pihak. Namun ibarat bola salju yang menggelinding, sengketa di areal 30 hektar itu malah menjadi isu liar yang semakin melebar dan membesar dengan beredar daftar sejumlah pejabat dan pengusaha juga menguasai lahan hak guna usaha (HGU) milik PTPN 8.
BUMN-Care juga heran mengapa baru sekarang Menko Polhukam Mahfud MD terkaget-kaget karena ternyata setidaknya ada 10 grup bisnis raksasa perkebunan tersebut yang sudah menguasai hampir 2 jutaan hektar luas HGU milik negara.
Dalam daftar itu terdapat nama-nama grup konglomerasi beken seperti; Sinar Mas Group, RGM group, Surya Dumai Group, Triputra Group, Gozco Plantation, Wilmar Group. Bahkan merambah ke beberapa elit parpol dan menteri terus beredar.
“Cuma areal 30 ha yang dibangun menjadi kompleks pendidikan yakni pondok pesantren di-blow up habis-habisan oleh pejabat PTPN 8, tapi mengapa yang lain tidak, disomasi,” tutur Direktur Eksekutif BUMN-Care Erick Sitompul saat memaparkan Catatan Akhir Tahun 2020, di pungujung tahun 2020 (31/12/2020) di Jakarta.
Erick menyatakan, Menko Polhukam Mahfud MD akan lebih terkaget lagi bila tahu berapa luas aktual masing-masing setiap grup konglomerat itu hingga saat ini.
“Itu kan baru daftar 10 konglomerat yang beredar. Setahu saya jauh lebih banyak lagi.
Ada ratusan pengusaha perkebunan sawit raksasa dan menengah swasta nasional dan lokal yang menguasai sekitar 7, 8 juta hektar lahan HGU perkebunan sawit milik negara,” kata Erick.
Menurut dia, yang lebih dahsyat lagi adalah sejumlah konglomerat sawit juga menguasai areal Hak Penguasaan Hutan ( HPH ) dan Hutan Tanaman Industri ( HTI ) di hutan milik negara. Belum lagi, kata dia, masih banyak lahan milik negara yang dikuasai para konglomerat untuk tanaman komoditas selain sawit, baik karet, tebu, coklat, dan teh.
“Ironisnya, perusahaan perkebunan milik negara saja dengan 13 PTPN di bawah holding company PTPN 3 , yang bergerak di kelapa sawit cuma mengelola seluas 635 ribu hektar saja. Tidak sampai 10 % dari yang dimiliki para pengusaha swasta besar menengah nasional dengan luas 7, 8 juta ha,” tambah Erick.
Mantan karyawan perusahaan konglomerat itu mengungkapkan, konglomerat papan atas pemegang HGU negara di perkebunan sawit terbesar yakni keluarga Eka Cipta Wijaya Pemilik Grup Sinar Mas melalui Holding Company nya SMART Plantation itu mendapat konsesi lahan HGU paling luas, yaitu sekitar 400 ribu hektar kelapa sawit dengan puluhan pabrik CPO.
Sinar Mas juga bergerak di sektor industri pulp dan kertas melalui Asia Pulp & Paper ( APP ) selaku grup holding pulp & kertas dengan pabrik raksasa skala dunia PT. Tjiwi Kimia, PT. Lontar Papyrus, PT. OKI Pulp & Paper, PT Indah Kiat Pulp & Paper. Grup APP melalui holding company Arara Abadi Group dan Sinar Mas Forestry diduga menguasai lebih dari 3 juta hektar lahan HPH, HTI, dan IPK.
Begitu luasnya areal hutan negara yang diberikan kepada grup ini di Sumatera dan Kalimantan. Perusahaan itu memasok kebutuhan pabrik pulp & kertas skala dunia yang ada di Riau, Jambi, Tangerang dan Sumsel. Total kapasitas produksinya mencapai lebih dari 12 juta ton.
Demikian pula dengan konglomerat Sukanto Tanoto, sang kompetitor bisnis Keluarga Eka Cipta Wijaya di dunia perkebunan sawit. industri CPO dan plulp & kertas. Sukanto pemilik RGM International Group dan Asian Agri. Holding company perkebunan sawit tersebut menguasai konsesi HGU milik negara seluas kurang lebih 300 ribu hektar dengan puluhan pabrik CPO.
Sukanto juga pemilik APRIL Group sebagai holding company Industri pulp & kertas melalui PT Riau Andalan Pulp & Paper, PT Riau Andalan Kertas dan PT Toba Pulp Lestari di Riau dan Sumut dengan ratusan anak perusahaan di sektor Kehutanan. Erick menduga, saat ini telah menguasai lahan negara seluas 2 juta ha baik areal HPH , HTI dan IPK di sepanjang pulau Sumatera , Kalimantan, dan Papua. Lahan itu memasok industri pulp dan kertas sebanyak 2, 8 juta ton kertas dan 1,2 juta ton pulp per tahun.
Bisa dibayangkan dahsyatnya melihat sepak terjang ke 2 grup konglomerat ini saja, baik Keluarga Eka Cipta Wijaya Sinar Mas Group dan Sukanto Tanoto RGM Group. Saat ini keduanya mengantungi izin HGU seluas700 ribu hektar. Jumlah lahan yang kuasai ternyata jauh lebih luas dari lahan yang dikelola PTPN 1-13 yang hanya 635 ribu hektar.
“Ke 2 kelompok konglomerat raksasa Sinar Mas Group dan RGM group ini juga menguasai areal HPH, HTI dan IPK untuk memasok industri pulp, kertas dan rayon yang diduga luasnya lebih dari 5 juta ha,” ungkap Erick lebih jauh.
Jadi, kata dia, menjadi sangat miris, soal tanah cuma 30 hektar di HGU PTPN 8 di Mega Mendung ini justru menjadi konflik yang tidak produktif, memalukan dan menjadi polemik secara nasional. Sementara masih di bumi Indonesia ini juga, karena kekuatan kapital para konglomerasi yang sangat dahsyat selama lebih 40 tahun telah menguasai HGU 7,8 juta hektar tanah negara dan belasan juta ha konsesi HPH / HTI tapi tidak pernah dipermasalahkan oleh pejabat pemerintah.
Menurut Erick yang juga ketua Umum Aliansi Profesional Indonesia Bangkit (APIB) DKI Jakarta, sangat banyak terjadi tindakan pelanggaran hukum dan main hakim sendiri kepada rakyat kecil oleh perusahaan swasta.
Masyarakat kecil senantiasa dikalahkan saat mediasi sengketa di level pemda maupun penyelesaian hukum di pengadilan. Konflik sosial seperti ini juga lebih sering terjadi di areal areal HPH atau HTI milik negara yang di kelola pihak investor dari swasta nasional.
“Kiranya pemerintah selaku regulator dan juga sebagai stake holder harus segera membenahi penanganan persoalan tanah negara dengan penegakan aturan yang tegas dan jujur, ” kata Erick mengakhiri keterangannya. (bs)