JAKARTA (Eksplore.co.id) – Tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam adalah bagaimana agar bisa berperan Besar untuk memajukan bangsanya. Lebih utama di bidang ekonomi. Tanpa peran itu, umat Islam di Indonesia jangan bangga menjadi penduduk Islam terbesar di dunia.
“Tantangan kita ke depan adalah bagaimana umat Islam mempunyai peranan yang besar dalam bidang kemajuan bangsa khususnya dalam bidang ekonomi. Pemikiran-pemikiran entrepreneurship tentang kemampuan usaha umat Islam Indonesia,” kata mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla pada acara peringatan Dies Natalis ke-25 Universitas Paramadina, di kampus Paramadina di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Selasa (10/1/2023).
“Kita juga harus mengembangkan pemikiran-pemikiran Islam di Indonesia. Kehidupan keagamaan di Indonesia jauh lebih baik dari pada apa yang banyak terjadi di Timur Tengah atau di manapun yang penuh gejolak, pertentangan dan konflik,” kata JK yang juga Ketua Dewan Pembina Yayasan Paramadina.
Menurut Kalla, jika kita tidak maju di bidang itu ada suatu ketimpangan yang mempunyai bahaya di masa depan. Ia mengingatkan pula, universitas bukanlah museum, dalam banyak hal umat Islam berpikir seperti museum, bangga pada masa lalu masa keemasan Islam. “Riset harus menjadi bagian dari kesetiaan kita semua. Kita harus mengubah universitas itu bukan barang mati tetapi harus dinamis. “
Acara itu juga menampilkan orasi dari Menko Polhukam Prof Mahfud MD. Dia banyak bicara tentang negara demokrasi. “Demokrasi dan tata kelola pemerintahan hubungannya sedang tidak baik-baik saja, dalam arti tidak selalu proses demokrasi mendukung lahirnya tata kelola pemerintahan yang kondusif bagi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan,” tuturnya.
Menurut Mahfud, hal itu disebabkan oleh konfigurasi politik yang tidak kondusif. “Konfigurasi politik yang lahir secara demokratis di negara kita tidak selalu kondusif untuk pembangunan. Bahkan dalam hal-hal tertentu menghambat transformasi pemerintahan yang baik.
“Misalnya, korupsi lahir dari banyak politisi yang dipilih secara demokratis, dan jalan untuk membuat korupsi terkadang diperoleh secara demokratis,” ujar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Namun demikian, lanjut Mahfud, demokrasi masih menjadi sistem politik terbaik bagi Indonesia. Sebab, demokrasi juga melahirkan sejumlah perubahan positif, kesetaraan, dan pembangunan yang terbuka.
“Sistem demokrasi masih tetap yang terbaik. Jangan berfikir sistem lain. Adapun kekurangan-kekurangan, jebakan-jebakan konfigurasi politik yang korup tadi hendaknya kita perbaiki pelan-pelan. Karena, kalau mau jujur, demokrasi juga banyak menghasilkan kemajuan,” lanjut Mahfud.
Mahfud MD juga mengungkapkan, isu kecurangan akan selalu muncul di setiap Pemilu. Namun, kecurangan Pemilu pasca Reformasi terjadi bukan akibat pemerintah atau penyelenggara Pemilu, tetapi oleh perilaku curang antar pihak yang berkontestasi dalam Pemilu.
“Kalau dulu KPU tidak benar, ya pemerintah yang boleh disalahkan. Tapi sekarang, KPU-nya bebas, karena Parpol dan DPR sendiri yang memilih (KPU). Yang curang antar pemain (politisi),” kata Mahfud.
Ia juga menjelaskan bahwa saat ini, skema pengawasan Pemilu sangat kompleks. “Sekarang ada survei, ada pemantau di lokasi Pemilu, ada reportase media, ada Pengadilan Pemilu, mulai MK, Bawaslu, DKPP, semuanya lengkap dan diizinkan,” kata mantan Ketua MK tersebut.
Kendati demikian, dia mengakui, kecurangan memang akan selalu ada. Namun, Mahfud menekankan penting melihat seberapa sistematis dan terstruktur tingkat kecurangan yang ada. Ke depan, Mahfud mengajak semua pihak untuk membangun konfigurasi politik yang sehat dalam sistem demokrasi.
“Jadi persoalannya bagaimana kita membangun ke depan demokrasi yang lebih berkeadaban. Mari keluar dari konfigurasi politik korup, melalui proses-proses politik yang demokratis dan tidak merusak kehidupan bersama,” ujarnya.
Dalam sidang terbuka Dies Natalis ke-25 Universitas Paramadina Yang dipimpin Rektor Prof. Didik J. Rachbini, juga dihadiri anggota Dewan Pembina Yayasan Abdul Latif, Sofyan Djalil, dan Ahmad Ganis, serta perwakilan kedutaan besar negara sahabat dan lembaga internasional.
Sofyan Djalil juga angkat bicara. Dia menyatakan, ide menggerakkan bangsa, semua civilization dimulai dengan ide besar. ”Saya pikir ide-ide Indonesia yang lebih inklusif, toleran, Islam yang rahmatan lil ‘alamin harus terus kita gaungkan dan kita sebarkan,” kata mantan Menteri Agraria Dan kepala BPN ini.
Universitas Paramadina, katanya, juga harus menjadi laboratorium untuk itu, tidak perlu besar sekali tapi menjadi boutique university dimana ide dan pemikiran dikembangkan.
Abdul Latief yang juga merupakan salah satu pendiri Universitas paramadina mengungkapkan ide pendirian Paramadina. “Kita ingin melahirkan kelas menengah baru Islam, programnya sederhana yaitu mengislamkan orang islam, maka dari itu berdirilah Yayasan Paramadina yang berarti orang yang kaum yang hijrah, yang mau pembaharuan, yang butuh kesejukan,” ungkap mantan Menaker ini. (bS)