JAKARTA (Eksplore.co.id) – Indonesia Police Watch (IPW) mengingatkan Kapolri Jenderal Idham Azis agar polisi tidak arogan dan semena-mena terhadap masyarakat. Aksi kerusuhan di Amerika Serikat yang picu meninggalnya Goerge Floyd di tangan polisi bisa juga terjadi di Indonesia. Apalagi masyarakat sedang prihatin akibat pandemi covid-19.
“Kapolri Idham Azis perlu mengevaluasi sikap perilaku dan kinerja para Kapolda dan Kapolresnya agar benar-benar promoter, sehingga kerusuhan dan kekacauan di AS tidak terjadi di Indonesia,” kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane.
Terjadinya krisis ekonomi sebagai dampak pandemik covid-19 harus diwaspadai Polri. Sebab krisis ini bisa menjadi krisis sosial dan politik. Jika dalam multi krisis ini jajaran Polri tidak promoter dan lebih mengedepankan arogansi, seperti apa yang dialami Goerge Floyd, bukan mustahil kekacauan seperti di AS akan terjadi di Indonesia. Apalagi persoalan di Indonesia sangat kompleks dan pelik.
IPW menilai, apa yang terjadi di AS, berpotensi juga terjadi di Indonesia saat ini. Kekacauan yang terjadi di AS adalah akibat sikap anggota polisi yang mengedepankan arogansi. Kematian warga kulit hitam George Floyd di Minneapolis, AS akibat ulah anggota polisi yang semena-mena dan tidak mengindahkan hak asasi manusia.
Di Indonesia, kata Neta, sikap polisi yang semena-mena, arogan, melakukan kriminalisasi, berpihak, tidak peka, dan mencederai rasa keadilan masyarakat sudah menjadi rahasia umum yang sering terjadi. Berbagai keluhan yang disampaikan masyarakat ke IPW, terutama dari daerah, yang kemudian disampaikan ke elite Kepolisian sering kali tidak cepat disikapi secara promoter. “Padahal, sikap seperti ini bisa menjadi api dalam sekam yang memicu kekacauan seperti yang terjadi di tahun 1998,” kata Neta, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/6/2020).
Aksi teroris yang membuat terbunuhnya anggota polisi di sebuah Polsek di Kalimantan Selatan menunjukkan betapa tidak promoterya Polri. Anggota polisi saja bisa terbunuh di kantornya, lantas apa yang bisa diharapkan masyarakat dari polisi dalam menjaga keamanan publik. Ironisnya, dalam kasus ini hanya Kapolresnya yang dicopot, sementara kapoldanya tidak tersentuh hukuman. Padahal, peristiwa itu terjadi akibat tidak berjalannya sistem deteksi dini dan lemahnya kinerja intelijen yang dibangun Kapolda hingga teroris bisa mengobok obok kantor polisi.
Sebab itu, IPW berpendapat, sudah saatnya Kapolri mengevaluasi sikap perilaku dan kinerja para kapolda dan kapolresnya. Kapolda dan kapolres yang mengkriminalisasi hak-hak ulayat atau mengkriminalisasi pengusaha lokal dengan tujuan tertentu atau diperalat pihak tertentu untuk mencederai rasa keadilan publik atau tidak becus bekerja secara promoter harus dicopot dari jabatannya. Masukkan mereka ke dalam “kotak” dan “kotaknya digembok tiga”. “Sebab polisi seperti itu tidak pantas menjadi pimpinan kepolisian dan hanya akan menjadi benalu buat masyarakat maupun polri,” tutur Neta, menyudahi keterangannya.
Sebelumnya IPW merilis penangkapan Ruslan Buton, komandan ex Trimatra skibat minta Presiden Jokowi mengundurkan diri dari jabatannya. Neta minta agar Ruslan dibebaskan, sebab tindakannya sebagai mengemukakan pendapat dijamin undang-undang.
Kasus kekerasan oleh polisi adalah berdasarkan kesaksian para terdakwa perakitan bom yaitu Abdul Basith dan La Ode cs. Di persidangan, mereka mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Mereka terpaksa mendatangani BAP karena disiksa. (BS)