Oleh Darmaningtyas#

Kisruh dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) di sekolah-sekolah negeri, baik untuk tingkat SMP maupun SMA selama tiga tahun terakhir terus berulang, terutama setelah diterapkannya kebijakan zonasi yang berdasarkan jarak terdekat. Kebijakan zonasi itu bagus untuk menciptakan pemerataan pendidikan, termasuk pemerataan kualitas pendidikan yang rendah. Namun ketika dilaksanakan secara tidak proporsional, tentu menimbulkan resistensi di masyarakat yang anaknya rajin belajar tapi kalah dengan anak yang rumahnya dekat sekolah.

Sebagai seorang aktivis pendidikan yang sejak 37 tahun silam konsisten memperjuangkan hak-hak yang miskin dan bodoh agar dapat dibiayai Negara dengan bersekolah di sekolah negeri, dan memperjuangkan agar anak-anak yang tinggal di sekitar lokasi sekolah negeri dapat bersekolah di sekolah negeri, tentu saya senang dengan kebijakan zonasi ini. Artinya, secara prinsip saya mendukung kebijakan zonasi.

Gagasan agar anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah negeri itu dapat bersekolah negeri di lingkungannya telah dipraktekkan oleh kawan Hartono, saat menjabat Kepala SMAN 9. Sedangkan gagasan agar anak-anak miskin dan bodoh dapat bersekolah di sekolah negeri itu sudah diimplementasikan oleh Herry Zudianto Walikota Kota Yogyakarta saat itu.

Waktu itu Walikota Herry Zudianto mengeluarkan kebijakan agar 5% murid baru di jenjangan pendidikan SMP-SMA/SMK diterima berdasarkan SKM (Surat Keterangan Miskin) dengan mengabaikan nilai UN. Namun kedua kebijakan yang berbeda tersebut tidak menimbulkan kehebohan karena proporsional, tidak mengganggu hak yang lain. Sedangkan zonasi pada PPDB 2018 sampai 2019 sangat tidak proporsional.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan yang menjadi dasar PPDB 2019 sebetulnya sudah clear. Pasal 16 ayat (1) Pendaftaran PPDB dilaksanakan melalui jalur sebagai berikut: a. zonasi; b. prestasi; dan c. perpindahan tugas orang tua/wali. Ayat ini menjelaskan bahwa ada tiga jalur penerimaan murid baru, jadi bukan hanya zonasi saja. Yang problematik adalah ketika ayat (2) mengunci bahwa jalur zonasi paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari daya tampung sekolah. Sedangkan ayat (3) jalur prestasi paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung Sekolah.

Menabrak UU Sisdiknas
Tanpa disadari oleh pembuat kebijakan, kedua ayat (2 dan 3) tersebut bertolak belakang dengan Pasal 2 ayat (1) bahwa PPDB dilakukan berdasarkan prinsip: non diskriminatif, obyektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Bagaimana tidak diskriminatif dan berkeadilan bila jalur zonasi paling sedikit 90%, sedangkan jalur prestasi maksimal lima persen?

Dapat disebut berkeadilan bila ketiga jalur penerimaan murid baru itu mendapatkan kuota yang proporsional. Bila kuaotanya tidak proporsional, jelas tidak berkeadilan. Ayat (4) yang mengatur jalur perpindahan tugas orang tua/wali paling banyak 5% (lima persen) dari daya tampung Sekolah masih dapat dipahami karena jalur perpindahan orang tua/wali secara umum memang kecil, tapi kalau jalur prestasi maksimal hanya lima persen, sementara jalur zonasi paling sedikit 90% tentu tidak berkeadilan.

Siapa pula yang menjamin bahwa PPDB dengan zonasi ini akuntabel ketika tidak ada verifikasi di lapangan satu persatu? Jadi klaim akuntabel dapat gugur bila tidak ada ferifikasi lapangan. Celakanya, ayat (5) juga mengunci bahwa calon peserta didik hanya dapat memilih 1 (satu) jalur dari 3 (tiga) jalur pendaftaran PPDB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam satu zonasi.

Artinya, tidak bisa seorang calon murid yang gugur dari jalur zonasi lalu dapat diterima berdasarkan jalur prestasi mengingat nilai UN-nya bagus. Karena memang dikatakan dalam persyaratan bahwa hasil UN bukan syarat untuk zonasi dan perpindahan orang tua/wali.

Hasil UN hanya syarat administrasi dalam PPDB. Pasal 16 Permendikbud tersebut jelas bertentangan dengan dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 5 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.

Bila jalur zonasi sudah dikunci 90%, lalu ada anak yang berprestasi tapi rumahnya jauh dari sekolah negeri, apakah dia tidak punya hak untuk diterima? Az. Zukhrufi, yang mengaku tinggal di wilayah Pantura (Gresik) dan salah satu pembaca buku saya, mengirimkan keluhan lewat email, ia menceritakan bahwa akses dari rumahnya ke sekolah negeri berjarak 17 km.

Bila penerimaan murid berdasarkan jarak terdekat, lalu anak-anak di kampungnya harus sekolah ke mana? Kasus serupa banyak terjadi di lapangan. Tidak usah jauh-jauh, tanya mereka yang tinggal di daerah Bojonggede (Kabupaten Bogor), kemana mereka harus bersekolah di SMAN karena di Kacamatan tersebut tidak memiliki SMAN?

Mematok kuota zonasi 90% juga bertentangan dengan UU Sisdiknas pasal 51 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Sekolah akan menerima jalur zonasi berapa persen, prestasi berapa persen, dan jalur lainnya berapa persen itu adalah urusan manajemen sekolah, bukan Mendikbud lagi. Sulit dipahami bahwa Mendikbud (siapa pun Mendikbudnya) yang harusnya melaksanakan UU Sisdiknas, justru membuat kebijakan pendidikan yang menabrak UU Sisdiknas. Jangan salahkan warga bila warga tidak patuh pada UU Sisdiknas.

Pemerataan Pemerosotan Kualitas
Saya sependapat dengan pernyartaan Mendikbud Muhadjir Effendi bahwa zonasi ini akan menciptakan pemerataan kualitas pendidikan, paling tidak kualitas pendidikan yang rendah. Kalau kualitas pendidikan yang tinggi perlu diragukan, karena kualitas pendidikan yang tinggi tidak hanya ditentukan oleh inputnya saja, tapi juga ditentukan oleh prasarana dan sarana, guru, serta proses pembelajaran itu sendiri.

Jadi untuk meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan, mestinya bukan hanya proses penerimaan murid baru yang perlu dibenahi, tapi dalam waktu yang bersamaan juga perbaikan prasarana dan sarana, pemerataan kuantitas dan kulitas guru, serta perbaikan proses pembelajarannya. Tanpa itu semua, yang terjadi pada sepuluh tahun mendatang adalah kita makin susah mendapatkan sekolah-sekolah negeri yang bermutu.

Kelak, yang bermutu itu adalah di sekolah-sekolah swasta yang bayarnya mahal, dan itu berarti kembai pada era sebelum 1980-an. Saat itu sekolah yang bermutu adalah sekolah-sekolah swasta, sehingga muncul kritik terhadap sekolah-sekolah negeri, gurunya dibiayai oleh Negara tapi kualitasnya jelek. Atas dasar kritik tersebut Pemerintah kemudian mengubah kebijakan lebih memberikan perhatian pada sekolah-sekolah negeri.

Sekarang, Mendikbud Muhadjir Effendi akan mengembalikan kondisi sekolah-sekolah negeri seperti sebelum era 1980-an. Jadi, zonasi itu bagus, tapi proporsinya 50:50% dengan jalur prestasi, sehingga yang dekat sekolah diakomodasi, tapi yang rajin belajar dan pintar juga diakomodasi. Kebijakan zonasi ini juga sia-sia, tidak mendukung terciptanya pemerataan kualitas pendidikan bila tidak diimbangi dengan penghapusan penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan.

Harusnya, kalau PPDB tingkat pendidikann dasar dan menengah didasarkan zonasi, maka jalur undangan masuk ke PTN dihapuskan, karena atas dasar apa sekolah tertentu memperoleh kuota besar, sedangkan sekolah yang lain tidak sama sekali, sementara konstelasi kualitas sekolah-sekolah negeri sudah berubah paska kebijakan zonasi 90%. [•]

#penulis pengurus PKBTS (Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa) di Yogyakarta

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini