JAKARTA (Eksplore.co.id) – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) bakal menghadapi batu sandungan. Sekelompok masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Peduli Kedaulatan (KMPK) mengajukan uji materi (judicial review/JR) terhadap beberapa pasal di Perppu tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia.
Permohonan tersebut telah resmi diterima oleh petugas MK pada Rabu, 15 April 2020.
“Kami meminta agar MK dapat mengadili perkara judicial review Perppu No.1/2020 dengan jujur, independen, sportif, amanah, bertanggungjawab, terhormat, dengan rasa malu, mandiri, dan bermartabat, sehingga menghasilkan putusan yang objektif dan adil bagi negara dan seruluh rakyat Indonesia,” tutur Marwan Batubara, salah seorang Koordinator KMPK, di Jakarta, Kamis (16/4/2020).
Hatta Taliwang, koordinator KMPK lainnya menambahkan, pihaknya meyakini dengan terselenggaranya sidang-sidang di MK untuk mengadili perkara judicial review ini kelak, rakyat memperoleh pengetahuan dan pencerdasan tentang berbagai hal dan motif di balik terbitnya Perppu No.1/2020.
Puluhan tokoh terhimpun dalam KMPK. Mereka antara lain adalah Prof Din Syamsuddin, Prof Sri-Edi Swasono, Prof M. Amien Rais, KH Agus Solachul Alam (Gus Aam), Dr. HMS Kaban, Dr. Ahmad Redi, Dr. Abdullah Hehamahua, Adhie M. Massardi, Indra Wardhana, Darmayanto, Roosalina Berlian, dan sejumlah tokoh dan aktivis yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Dalam KMPK juga terhimpun sejumlah advokat dan konsultan hukum tercatat sebagai kuasa hukum KMPK sejak 13 April 2020. berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 13 April 2020. Mereka antara lain adalah Prof Syaiful Bakhri, Prof Zainal Arifin Hoesein, Dr. Ibnu Sina Chandranegara, Dr. Ahmad Yani, Dr. Dwi Purti Cahyawati, Noor Asyari SH. MH, dan Dr. Dewi Anggraini,
Para advokat telah bekerja dengan sangat intens, sehingga dokumen judicial review atas Perppu No.1/2020 telah disampaikan kepada MK dalam waktu yang tidak lama.
Sebelimnya Din Syamsuddin mengatakan, lahirnya Perppu No.1/2020 di tengah pandemi virus corona tidak punya cantolan konstitusional yang jelas. Tidak juga dikaitkan dengan undang-undang tentang kedaruratan kesehatan, dimana justru pemerintah hampir menerapkan darurat sipil. “Ada hal substansial dalam Perppu No.1/2020 yang melanggar amanat kosntitusi, sehingga sangat berbahaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Dien.
Sri-Edi Swasoso menyampaikan, dalam 5 tahun terakhir pemerintah sebenarnya gagal mengelola ekonomi nasional dan mencapai target-target yang dijanjikan. Indikasinya, sebelum pandemi corona, bukan saja nilai tukar (US$/Rp) turun jauh di bawah target Rp 10.000 menjadi sekitar Rp 15.000. Jumlah utang meningkat 40% (Rp 2.600 triliun), target pertumbuhan ekonomi pun tidak pernah tercapai. “Lantas, melalui Perppu No.1/2020 ini, pemerintahan Jokowi bukan saja ingin menutupi kegagalan tersebut, tetapi juga bermaksud menjalankan agenda kekuasaan dan rekayasa ekonomi tanpa kendali dengan melebarkan defisit di atas 3%,” tutur Sri-Edi.
Sedangkan Amien Rais menilai, pemerintah mengakui perilaku moral hazard akan menjadi perhatian dalam menjalankan Perppu No.1/2020. Tetapi yang tertulis dalam Pasal 27 Perppu No.1/2020 justru hal sebaliknya, dimana disebutkan uang yang dikeluarkan adalah biaya ekonomi bukan kerugian negara, dan kebijakan keuangan yang dikeluarkan bukan merupakan objek gugatan di PTUN. Amien Rais mengingatkan, sesuai Pasal 1 UUD 1945, NKRI adalah negara hukum dan kedudukan perppu berada di bawah konstitusi. “Perppu No.1/2020 tidak bisa menihilkan UUD 19145. Moral hazard akan dapat dicegah jika prinsip moral dalam Pancasila dan amanat penegakan hukum dalam UUD 1945 konsisten dijalankan,” ujar mantan Ketua MPR RI ini.
Ahmad Redi ikut berpendapat, Perppu No.1/2020 harusnya fokus pada upaya melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dari ancaman pendemi Covid-19. Tidak ada kegentingan memaksa selain kepentingan pengerahan dan penanganan Covid-19 dalam perppu. “Adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan dalam perppu merupakan penumpang gelap yang tidak memenuhi kriteria kegentingan memaksa dalam Pasal 22 UUD 1945 dan menjadi modus post pactum yang sangat potensial menjadi komodifikasi abuse of oleh penguasa,” ujarnya.
Sedangkan Prof. Syaiful Bahri sebagai kuasa hukum para pemohon antara lain menjelaskan, keadaan kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 UUD 1945 dan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2019 hanya terpenuhi dalam hal penanganan Covid-19. Sementara dalam ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, tidak ada keadaan kegentingan yang memaksa, . Syaiful menambahkan Perppu tersebut menjadikan eksekutif dalam arti sempit akan berjalan tanpa kontrol atau melampaui kewenangan yang diamanatkan konstitusi dan diatur UU.
“Perppu No.1/2020 memangkas tiga lembaga sekaligus. Pasal 2 Perppu itu memangkas fungsi pengawasan dan budgeting DPR,” kata Syaiful.
Dr Ibnu Sina Chandranegara menjelaskan pula, permohonan pengujian ini dimaksudkan untuk menguji konstitusionalitas produk hukum dalam merespon keadaan darurat. “Ternyata memuat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari UU yang ada, seperti Pasal 28 Perppu No.1/2020, menguji norma-norma yang dikesampingkan dalam 12 UU tersebut menjadi penting mengingat konsistensi penerapan konstitusionalisme Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 UUD 1945,” katanya.
Ahmad Yani yang juga politisi ini menyatakan bahwa seluruh norma yang diatur dalam Perppu No.1/2020 terlihat mengada-ada dan dapat dijadikan jalan untuk membenarkan segala tindakan dan kebijakan yang melawan hukum. Perppu itu, kata Yani, sekaligus melucuti kewenangan lembaga-lembaga negara seperti DPR, BPK dan lembaga peradilan yang ada. Atas dasar darurat Covid-19, perppu itu merusak sistem ketatanegaraan yang ada. “Norma yang diatur dalam perppu tersebut jelas bertentangan dengan konstitusi dan menabrak banyak ketentuan yang khusus dalam Undang-Undang yang lain,” ujarnya. (bn2)