Oleh Himawan Sutanto*
MENJELANG pilpres 2024 mendatang partai politik sibuk menjadi partai terdepan dengan mempengaruhi image kepada rakyat. Pilpres masih 3 tahun lagi, tapi manuver partai politik sudah meramaikan jagad berita politik akhir-akhir ini.
Tak tanggung-tanggung PDIP dengan sengaja melempar manuver Puan Maharani datang ke Semarang melakukan pertemuan dengan pengurus dan para kepala daerah dari partai moncong putih. Yang menarik adalah tidak diundangnya Ganjar Pranowo dalam acara tersebut. Apalagi Ganjar adalah kader utama PDIP dan selaku Gubernur Jawa Tengah.
Tak tanggung-tanggung pula pernyataan Ketua Bappilu PDIP Bambang Pacul dengan sengaja tidak mengundang Ganjar dikarenakan sudah mendahului star sebagai capres melalui sosial media. Padahal Ganjar aktif di sosial media sejak menjadi anggota DPR-RI dan lebih aktif ketika menjadi Gubernur Jawa tengah.
Wajarlah jika anak “pemilik” partai merasa terganggu. Apalagi Megawati telah mendapatkan kehormatan sebagai profesor di Unhan dan sebagai Menhan Prabowo Subianto telah menghadiahkan patung Soekarno naik kuda yang dipasang di depan kantor Kemenhan jalan Merdeka.
Lalu ada juga yang ingin memadukan Prabowo-Puan, Prabowo-BG, Puan-Anies, Puan-Muhaimin, Anies-AHY, Anies-GN. Semua semua digoreng menjadi berita. Bahkan lembaga surveipun tak kalah dengan para politisi partai dengan mengangkat calon presiden potensial, seperti Rizal Ramli, Ridwan Kamil, dan lain sebagainya yang mengajukan gugatan ke MK dengan Presidential Threshold (PT) 0%.
Demokrasi Oligarki
Oligarkí adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Yunani untuk “sedikit” dan “memerintah”. Adapun negara yang memiliki sejarah demokrasi oligarki adalah Uni Sovyet. Di Uni Soviet saat rezim Stalin, hanya anggota Partai Komunis yang mendukung birokratisasi Stalin saja yang dapat memegang jabatan pemerintahan. Sisanya disingkirkan atau dibunuh dengan kejam. Kemudian di Afrika Selatan sebelum 1994, orang-orang minoritas berkulit putih memerintah secara oligarkis atas mayoritas penduduk Afrika Selatan berkulit hitam. Politik rasisme ini secara resmi pada 1948 disebut aparteid.
Dalam hal di atas adanya kekuatan oligarki membuat demokrasi semakin lemah di Indonesia. Pada tahun 2019 demokrasi Indonesia mengalami penurunan apalagi saat era wabah pandemi Covid-19 seperti ini.
Masalah demokrasi di Indonesia saat ini adalah penguatan kelompok elite, menguatnya oligarki, lemahnya keterwakilan, terbatasnya pilihan politik atau keberagaman dan melemahnya check dan balance. Jadi sangatlah wajar jika anggota partai yang tidak memiliki trah dan pengaruh keuangan menjadi faktor penting di sebuah partai, baik kecil maupun besar.
Dari sisi kemunduran demokrasi ini harus diselesaikan. Rakyat harus mengetahui perkembangan tentang pendidikan politik dan ekonomi. Sehingga jika ada kelompok elite yang memanfaatkan situasi dan keadaan untuk kepentingannya sendiri, masyarakat bisa memberi kritik ke mereka dan memberhentikannya. Melihat kurangnya nilai-nilai demokrasi membuat kelompok elite semakin menguasai apapun. Lalu, penegakan hukum pun susah, banyak terjadi ketidakadilan dan tidak diterapkan sesuai aturan dasar hukum yang ada. Hal-hal ini harus diperbaiki.
Praktik penyimpangan demokrasi politik telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrim seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, terorisme serta ajaran lain yang bertentangan dengan nilai demokrasi.
Kalau kita menggunakan istilah Yuki Fukuoka (2013), merujuk pada suatu tatanan demokrasi di mana pertarungan politik didominasi oleh koalisi kepentingan yang predatoris serta mendorong peminggiran kekuatan masyarakat sipil. Gagalnya konsolidasi demokrasi pasca runtuhnya rejim otoritarianisme Soeharto membawa implikasi negatif bagi iklim demokrasi di era reformasi. Kebanyakan masyarakat terjebak pada eforia reformasi yang membuat mereka lupa bahwa runtuhnya Orde Baru tidak disertai melenyapnya kekuatan oligarki yang dibesarkan oleh semangat rezim Orba juga. Justru, kekuatan oligarki yang semula bersenggama dengan rezim Orba kembali mengonsolidasi diri (beradaptasi) dengan rezim reformasi yang jauh lebih menguntungkannya.
Depok, 15 Juni 2021
*penulis pengamat masalah kebudayaan dan politik