Jakarta, (Eksplore.co.id) – Kontroversi Rancangan Undang – Undang (RUU) Omnibuslaw atau Cipta Kerja yang dikenal sebagai RUU sapu jagat itu bukan hanya masalah ketenagakerjaaan yang kini banyak diributkan oleh para pegiat dan organisasi masyarakat perburuan saja. Tapi kelompok organisasi dan pakar pendidikan juga mencermati jika pasal – pasal pendidikan pada RUU tersebut tidak sesuai dengan budaya bangsa. Tragisnya pasal-pasal itu tak sesuai lagi dengan jiwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) Pontjo Sutowo dalam keterangan tertulisnya, diterima redaksi eksplore.co.id, kemarin Kamis (10/09/2020) mengatakan, bahwa sebagai organisasi yang banyak berkiprah di bidang kebudayaan, YSNB merasa pasal-pasal pendidikan pada RUU Cipta Kerja tidak sesuai dengan budaya bangsa. Ditekankannya bahwa Kebudayaan harus diartikan secara utuh yaitu sebagai sebuah sistem nilai bangsa Indonesia, jangan hanya diartikan sempit sebagai ekspresi budaya atau produk budaya saja seperti misalnya seni dan artifak.

“Karena itulah pendidikan adalah bagian dari kebudayaan, bukan sebaliknya,”tegas Pontjo.

Di tempat yang sama Ki Darmaningtyas mengatakan bahwa ada beberapa masalah dasar di pasal-pasal pendidikan RUU Cipta Kerja. Diantaranya adalah hilangnya frasa kebudayaan dalam sistem pendidikan nasional. Kemudian perubahan frase “prinsip pendidikan nirlaba” menjadi “dapat nirlaba”. Juga perubahan frase “ijin pendirian sekolah/perguruan tinggi” menjadi “ijin pendirian badan usaha”. Kesemuaan itu sesuai dengan tujuan pasal-pasal pendidikan pada RUU Cipta Kerja, yaitu untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha dari sektor pendidikan dan kebudayaan.

Belum lagi ada pasal-pasal yang dalam UU nomor 20/2003 Sistem Pendidikan Nasional yang tadinya sudah dibatalkan MK malah sekarang dihidupkan kembali, yaitu pasal-pasal Badan Hukum Pendidikan. Secara umum, ruh atau ideologi RUU Cipta Kerja ini adalah komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan. Ideologi ini diusung oleh WTO yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan, bukan sebagai hak yang dimiliki oleh setiap warga, ujarnya.

“WTO menempatkan pendidikan sebagai industri tersier yang sah untuk diperdagangkan, sehingga negara-negara anggota WTO dapat memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan di negara-negara lain sebagai mekanisme untuk memperoleh keuntungan finansial.”ujarnya.

Terancamnya Trisakti Bung Karno

Pada dasarnya RUU Omnibuslaw baik karena ingin mensolusikan banyak hal secara integral menyeluruh atau komprehensif seluruh aspek, tidak parsial persektor sehingga ditakutkan tumpang tindih. Namun mencermati jika pasal – pasal pendidikan pada RUU tersebut tidak sesuai dengan budaya bangsa di rasakan mengakawatirkan Trisakti Bung Karno akan terganggu. Peryataan ini disampaikan oleh Prasetyono Widjojo yang merupakan dewan pakar YSNB.

Menurutnya, Trisakti Bung Karno adalah berdaulat dalam politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Jika kebudayaan dicabut dari pendidikan maka pembangunan manusia tidak akan berjalan. Jadi jangan menggeser tujuan pendidikan untuk membentuk warga negara unggul menjadi sebagai fungsi pasar saja. Lebih jauh lagi ditakutkan dalam sektor pendidikan kita hanya menjadi penonton saja di negeri sendiri.

“Aura pasal-pasal pendidikan dari RUU Cipta Kerja lebih bernuansa bisnis. Padahal pendidikan sebagai bagian dari budaya tidak bisa dipandang dari sudut ekonomi saja seperti efisiensi, untung, dan rugi, ataupun aspek keuangan lainnya. Seharusnya, kebijakan keuangan bersifat affirmasi terhadap pendidikan dalam kebudayaan,” terang Prasetyono.

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini