JAKARTA – Eksplore.co.id – Peristiwa padam total jaringan listrik (blackout) di sebagian besar wilayah Pulau Jawa pada hari Minggu, 4 Agustus 2019, tentu jangan dibiarkan berlalu. Indonesian Resources Stufies (IResS) mendesak agar diadakan auditor total terhadap kinerja baik sisi operasional, manajemen, maupun bisnisnya.
Audit total itu harus dilakukan, , guna menjaga daya tahan dan meningkatkan perlayanan listrik. Audit juga diperlukan sebagai langkah perbaikan yang objektif, menyeluruh dan berkelanjutan. “Untuk itu, kita sepakat dengan usul banyak kalangan agar dilakukan proses audit,” kata Direktur Eksekutif IResS Marwan Batubara.
Namun, langkah tersebut harusnya tidak terbatas hanya pada audit investigatif sisi teknis operasional seperti yang direncanakan oleh PLN, terutama untuk menemukan sebab terjadinya blackout. Proses audit pun, kata Marwan, tidak cukup melibatkan auditor independen seperti usul DPR (6/8/2019), tanpa jelas lingkupnya.
Karena menyangkut sektor publik, IResS mengusulkan proses audit PLN dilakukan secara menyeluruh meliputi audit keuangan, audit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu. Dengan audit keuangan, misalnya, akan terlihat objektivitas spending korporasi. Audit kinerja meliputi audit operasional dan manajemen, yang fokus pada penilaian aspek ekonomi dan efisiensi. Jika dilengkapi audit program dapat pula dipakai untuk menilai efektivitas. Sedangkan audit dengan tujuan tertentu adalah semua jenis audit selain audit keuangan dan audit operasional, termasuk di antaranya audit ketaatan dan audit investigatif atau forensik.
Beberapa hal penting yang harus diaudit antara lain adalah profil jenis, harga dan pemasok energi primer bagi PLN. Selanjutnya, tentang profil kontrak, harga dan pemasok listrik swasta yang menerapkan skema take or pay. Selain itu juga menyangkut dukungan kegiatan kampanye, penggunaan dana CSR, kontrak operasi dan maintenance, serta intervensi penyusunan Rencana Umum Pembangkit Tenaga Listrik (RUPTL) yang berdampak pada kinerja operasi pelayanan dan beban biaya PLN.
Menurut Marwan, untuk menjaga keandalan, misalnya, audit operasional diharapkan mampu mengungkap terjadinya perubahan atas SOP-SOP yang telah terbukti kredibel, namun diubah demi mengejar target efisiensi. Proses audit hanya akan bermanfaat jika diiringi dengan langkah-langkah konkret untuk perbaikan dan proses pengadilan jika terjadi tindak pidana. “Karena itu, kita meminta pemerintah dan DPR benar-benar serius untuk mewujudkan terlaksananya proses audit menyeluruh tersebut,” tutur Marwan, mantan general manager di Indosat ini.
IResS mencatat, dari pengalaman di masa lalu menunjukkan banyak temuan dalam proses audit. Namun, hasil pansus-pansus DPR umumnya terhenti pada penyampaian hasil, tanpa proses tindak lanjut. Akibatnya langkah-langkah perbaikan tidak terjadi secara optimal dan subjek-subjek yang terlibat KKN umumnya bebas dari jerat hukum.
“Jika hal yang sama juga terjadi pada proses audit PLN yang akan datang, bersiaplah untuk mengalami blackout yang terus berulang yang levelnya bisa lebih parah,” tutur Marwan memprediksi. Jarena itu, IResS menantang Pemerintahan Jokowi untuk memulai langkah audit menyeluruh dan berani bertanggung jawab atas berbagai temuan hasil audit yang melanggar hukum dan merugikan negara.
“Hal yang sama harus berlaku untuk manajemen PLN. Publik tidak cukup hanya disuguhi informasi dan retorika tanpa esensi. Apalagi sekadar membesar-besarkan PLN sebagai kambing hitam sambil menyembunyikan biang kerok sebenarnya,” ujar mantan anggota DPD RI untuk daerah pemilihan DKI Jakarta ini.
Untuk dicatat, sehari usai peristiwa blackout berlangsung, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendatangi kantor pusat PLN, di Kebayoran, Jakarta Selatan. Maksud kedatangannya, antara lain untuk meminta penjelasan PLN mengenai penyebab blackout tersebut. Dari berita di berbagai media, terlihat Jokowi sempat emosional atau menahan marah setelah mendengar penjelasan manajemen PLN perihal musibah blackout. Sikap tersebut muncul mungkin karena penjelasan yang terlalu panjang, tidak lugas, dan terlalu teknis, sekaligus juga kecewa dengan kinerja PLN.
Setelah terjadinya blackout, PLN menghadapi gugatan dari berbagai kalangan. Apalagi setelah beredar luasnya berita kunjungan Jokowi ke PLN, berikut sikapnya yang tidak biasa. Munculnya gugatan masyarakat merupakan hal yang wajar. Faktanya konsumen listrik yang mengalami blackout memang berhak memperoleh ganti rugi sesuai peraturan yang berlaku.
Jika gugatan terlalu berlebihan, pun telah tersedia jalur hukum untuk penyelesaian. Namun ada juga upaya kalangan ter tentu yang ingin menjadikan PLN sebagai kambing hitam, yakni satu-satunya pihak yang harus bertanggungjawab.
Udang di Balik PLN
Dalam analisisnya, IResS menduga di balik kasus blackout listrik PLN, muncul pula kampanye kelompok tertentu yang menginginkan segera diakhirinya status monopoli yang disandang PLN. Tujuan utamanya adalah agar mereka dapat ikut menikmati keuntungan bisnis dari sektor kelistrikan. Padahal, monopoli itu merupakan amanah Pasal 33 UUD 1945.
Monopoli PLN di sektor kelistrikan merupakan status yang diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. Sehingga kesempatan swasta untuk ikut menyediakan pelayanan listrik langsung kepada publik tertutup, kecuali jika amanat konstitusi tersebut diamendemen. Faktanya monopoli PLN bersifat natural monopoli yang menjamin terwujudnya pelayanan universal yang terbaik bagi Negara dan rakyat. Monopoli kelistrikan juga lazim dipraktikkan oleh mayoritas negara di dunia.
Menurut Marwan, dengan status monopoli, PLN dapat memberi pelayanan listrik yang adil, karena penetapan tarif diatur oleh pemerintah. Jika PLN harus menjalankan suatu kebijakan khusus, pemerintah pun siap menanggung beban sebagai konsekuensi.
Selain itu, guna terwujudnya pemerataan layanan, PLN dapat pula melakukan proses cross-subsidy antarwilayah konsumen. Itu sebabnya, upaya mengkambinghitamkan PLN, demi mengamankan posisi konstitusional dan mengungkap kondisi objektif yang sebenarnya, maka kita perlu melihat masalah blackout melalui perspektif yang lebih luas. “Kami tidak memungkiri bahwa PLN dan manajemen PLN ikut berkontribusi atas terjadinya blackout, dan karenanya harus pula ikut bertanggungjawab,” ujarnya.
Namun IResS berpendapat, tanggung jawab PLN tidaklah sebesar yang diperkirakan banyak kalangan. Karena, ada pihak-pihak lain yang seharusnya ikut lebih bertanggung jawab, termasuk ikut menanggung klaim ganti rugi atau kompensasi bagi konsumen.
Sesuai ketentuan perundangan, operasional PLN ternyata harus menerima penugasan baik dalam bentuk public service obligation (PSO).
Dalam dua tahun terakhir, menyusul turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, harga Indonesian Crude Price (ICP) dan gas naik, serta ekonomi pun rutin mengalami inflasi. Menurut peraturan yang berlaku, pemerintah mestinya “menyesuaikan” tarif listrik karena perubahan berbagai variabel makro tersebut. “Namun, tarif listrik tidak perlu naik jika tersedia anggaran subsidi APBN untuk mengkompensasi. Ternyata saat kebijakan tersebut ditetapkan, subsidi APBN tidak tersedia,” ujarnya.
Menurut Marwan, menahan tarif listrik tanpa tambahan subsidi telah membuat PLN harus melakukan banyak penghematan, termasuk menunda berbagai rencana pembangunan infrastruktur listrik dan mengurangi beban biaya pemeliharaan yang sangat menentukan guna menjamin keandalan sistem jaringan listrik.
Dalam hal pemeliharaan, misalnya, mantan Dirut PLN Dahlan Iskan sempat menuliskan keprihatinan atas berkurang atau tidak optimalnya peran Pusat Pengatur Beban (P2B) PLN. Orang boleh berdalih kalau “penugasan” pemerintah tersebut kelak diganti melalui APBN. Namun dana yang dibutuhkan adalah pada saat itu, sehingga penghematan harus dilakukan saat itu juga, agar arus kas PLN tidak terganggu.
Selain itu, IResS melihat, ada tugas non-PSO yang harus dilaksanakan PLN. Di antaranya, “tugas” mengakomodasi berbagai proyek “oligarkis” penguasa- pengusaha berupa pasokan listrik swasta. Pasokan listrik ini tidak saja berharga lebih mahal (dibanding yang dipasok PLN sendiri), tetapi juga harus “diterima” dalam jumlah yang lebih besar dari yang dibutuhkan, karena menerapkan skema “take or pay”, bukan skema “delivery or pay”. “Tentu saja, pasokan listrik swasta berskema take or pay ini telah menambah beban biaya operasi PLN, sehingga telah pula memaksa PLN untuk lebih banyak melakukan efisiensi,” tutur Marwan, dalam rilis yang diterima Eksplore (12/8/2019).
“Tugas oligarkis” lainnya adalah menerima pembangunan sarana dalam lingkup Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang isinya sudah berubah dari rencana awal PLN, terutama untuk mengakomodasi harus dibangunnya pembangkit-pembangkit oleh investor tertentu (misalnya Riau-1). Pembangunan tersebut dapat saja membuat ketidakseimbangan antara pasokan/pembangkit dengan beban/ pelanggan intra wilayah. Jika sistem interkoneksi bermasalah, kondisi ketidakseimbangan akan memicu blackout yang parah seperti pada 4 Agustus 2019. Saat itu sistem pembangkitan Jawa Timur (reserve margin 54%) harus memasok sistem pembangkitan Jawa Barat (reserve margin 12%). Padahal sesuai acuan dalam RUPTL, reserve margin jaringan Jawa-Bali haruslah seimbang pada level 30-35%.
Masih ada lagi deretan tugas politis dan oligarkis yang mengurangi kemampuan keuangan PLN untuk dapat membangun pembangkit-pembangkit dan jaringan interkoneksi sesuai kebutuhan. Keterbatasan membangun pembangkit membuat PLN “terpaksa menerima” listrik swasta (Independent Power Producer/ IPP) yang biayanya lebih mahal. Keterbatasan membangun membangun jaringan interkoneksi membuat keandalan sistem pelayanan PLN menurun, sehingga rawan terhadap terjadinya blackout. Untuk dicatat, dalam proyek listrik 35.000 MW, PLN hanya mampu membangun sekitar 8.000 MW, sedang sekitar 27.000 MW sisanya akan dibangun oleh IPP.
Dengan tugas-tugas di atas, secara umum PLN dan manajemen PLN memang harus memilih jalan apakah lebih mengutamakan efisiensi atau keandalan. Ada trade off antara efisensi dengan keandalan. Idealnya, sistem pelayanan listrik PLN haruslah efisien dan sekaligus andal! Pada masa-masa sebelumnya, manajemen penentu di PLN umumnya berlatar belakang engineers, sehingga tercatat cukup disiplin menjaga kendalan sistem dengan menyiapkan dan konsisten menjalankan berbagai standard operating procedures (SOP) yang telah dikaji secara komprehensif. Sehingga tercatat sistem blackout cukup minim terjadi.
“Belakangan ini, manajemen penentu di PLN bukan berlatar belakang engineers, dan terkesan cenderung sedikit abai terhadap SOP, guna mencapai target-target efisiensi, sehingga keandalan sistem menjadi turun,” kata politisi yang juga enginer ini. Menurut dua, kasus kurang optimalnya peran P2B yang diungkap oleh Dahlan Iskan dapat menjadi salah satu contoh bagaimana SOP kurang mendapat perhatian. Dengan keandalan sistem yang turun, maka kita tidak perlu heran kalau blackout terjadi. Blackout menjadi satu peristiwa biasa yang merupakan konsekuensi logis dari sistem yang diadopsi manajemen PLN belakangan ini.
Terlepas dari perbedaan sikap manajemen PLN di atas, di mana ada yang cenderung mengutamakan aspek efisiensi atau mengutamakan aspek keandalan, jika berpikir positif, pada dasarnya mereka memang harus menjalankan tugas atasan. Namun, ditinjau dari kepentingan negara dan publik, maka akan jauh lebih baik jika mereka bersikap profesional dan independen, serta jauh dari sikap “Asal Bapak Senang” (ABS). Mereka harus berani mengatakan hal-hal yang objektif guna menyelamatkan pelayanan publik dan citra negara.
Dalam konteks blackout yang baru saja terjadi, ternyata kebutuhan akan efisiensi oleh PLN bukan hanya harus dilakukan dalam rangka mencapai penerapan prinsip good corporate governance (GCG) sebagaimana seharusnya. Tapi, juga harus dilakukan guna mengakomodasi berbagai “tugas yang bernuansa moral hazard”. Pemberi tugas yang diyakini sarat moral hazard inilah menjadi biang kerok dan berperan lebih besar sehingga memicu terjadinya blackout 4 Agustus 2019 yang lalu.
Itu sebabnya, IResS mengingatkan masyarakat sebagai konsumen listrik agar dapat memahami bahwa PLN bukanlah the accused atau satu-satunya subjek yang pantas dipersalahkan. Ada subjek-subjek lain yang lebih pantas dituntut untuk bertanggung jawab atas terjadinya blackout, karena peran mereka justru lebih besar. (bs1)