Pendidikan di Era Disrupsi
(Catatan atas buku Pendidikan yang Berkebudayaan karya Yudi Latif)
Oleh Fachry Ali*
YUDI Latif lebih muda 10tahun dari saya. Dan walau saya, tentunya, lebih awal menulis, Yudi jelas jauh lebih produktif.
Dua bulan lalu, saya diminta membahas bukunya tentang Pancasila. Sistem gagasannya dalam buku Pancasila itu menarik, terutama ketika ia membahas aspek ‘civil religion’-nya ideologi negara itu.
Dalam hal ini, Yudi sangat terbantu dengan pemikiran sosiolog Robert Bellah.
Semalam, saya juga diminta membahas buku terbarunya, ‘Pendidikan yang Berkebudayaan’. Seperti buku sebelumnya, Yudi mengungkapkan keseriusannya dalam berpikir tentang bangsa ini.
Sumbangan terbesarnya dalam buku ‘Pendidikan’ ini adalah susunan argumentasinya yang ‘kokoh’ tentang dasar kebudayaan bangsa. Salah satu yang saya tangkap adalah frasa menariknya tentang Nusantara dan laut yang melingkunginya.
‘Nusantara’, kata Yudi, ‘adalah file tentang ingatan kosmopolitanisme.’ Sementara lautan adalah ‘sarana atau media globalisme kuno.’ Ini tentunya bukan redaksi persis Yudi, tentunya. Melainkan, parafrase yang saya buat.
Saya suka dengan frasa itu karena bisa meringkas (dan menyederhanakan) konsep kebudayaan Yudi di dalam buku ini. Dengan ini, Yudi ingin mengatakan bahwa kebudayaan nasional, di samping yang telah berkembang pada tingkat domestik, adalah hasil dialog dengan pihak luar —yang distrukturkan oleh corak geografis bersifat Nusantara dan dikelilingi lautan itu.
Dari sini pula, Yudi mendapat perspektif meletakkan pengertian ‘puncak2 kebudayaan daerah’ yang menjadi dasar ‘kebudayaan nasional’.
Mengambil frasa Sukarno tentang pengertian ‘suku’ (untuk suku bangsa) sebagai ‘kaki’ —menurut pengertian Jawa— maka, etnik2 yang bergabung ke dlm bangsa (Indonesia) menjadi landasan kokoh penyangga bangsa.
Mengapa? Karena ‘suku bangsa’ dengan sendirinya menjadi aneka ‘kaki’ kokoh menyangga struktur bangsa secara keseluruhan. Kekokohan ini terlihat pada pandangannya bahwa ‘puncak2’ kebudayaan daerah adalah ekspresi cita rasa dan tradisi lokal, yang sudah pasti beragam itu, yang hidup dan secara efektif membimbing sistem tindakan masing-masing masyarakatnya.
Efektivitas ini dalam kehidupan se-hari-hari telah membuat tak ada alasan bagi masyarakat mencari alternatifnya. Maka, kekokohan bangsa terletak pada daya hidup ekspresi cita rasa dan tradisi masing2 ‘kaki’-nya itu.
Dalam konteks inilah Yudi bicara tentang pendidikan. Baginya, secara konseptual dan ideal, pendidikan tidak bisa direduksi kepada usaha menciptakan kemampuan teknikal belaka. Dg terus terang, sikap ini diproyeksikan kepada ‘kesibukan’ pengambil keputusan tentang teknologi 4.0. Baginya, sesuai dengan sifat teknologi yang berkembang pesat, para pengambil keputusan akan cenderung menangkap gejala pada tingkat permukaan dan secara terus menerus akan berhadapan dengan ‘disrupsi’ —karena teknologi akan terus berkembang, bahkan dalam wujud yang kian cepat.
Dengan mengatakan ini, Yudi ingin menyampaikan bahwa yang dibutuhkan dalam proses pendidikan adalah menciptakan metode pengajaran untuk mereproduksi manusia2 otonom dan kreatif. Seperti juga kebudayaan nasional yang mampu sintas (survive), arah utama pendidikan pada esensinya adalah menciptakan manusia2 kreatif dan otonom. Dengan itu, betapapun ia harus berhadapan dengan serangkaian disrupsi (akibat perkembangan teknologi) secara terus-menerus, bangsa ini akan selalu siap.
*kolumnis/pengamat sosial politik