Perjuangan SP-JICT Tiada Akhir? (2)
Menakar Siapa yang Lebih Cinta Negeri Sendiri

EKSPLORE (18/11/2018) – Keberadaan Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SP-JICT) perlu mendapat apresiasi dan bisa dijadikan model percontohan bagi serikat pekerja yang lain, maupun para pendukung NKRI Harga Mati yang Cinta Bangsa dan Tanah Air Indonesia.

Ada lagi kata Ade Armando, sang pakar komunikasi. Apa pendapat dia tentang penguasaan saham JICT oleh Hutchison Port Holding (HPH) sebesar 51% pada 1999 dengan konsesi selama 20 tahun hingga 2019. Penyebabnya, karena pemerintah Indonesia sedang kesulitan ekonomi. “Kini, dengan membaiknya ekonomi Indonesia dan semakin cakapnya anak bangsa mengelola sendiri pelabuhan peti kemas, tidak ada alasan logis untuk memperpanjang konsesi tersebut kepada pihak asing,” kata Ade.

Kalau pun modal asing masih diperlukan, itu seharusnya tetap dalam skema yang membawa manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia dan tetap tunduk kepada aturan hukum yang ada di Indonesia. “Namun akal sehat rupanya tidak bisa dijadikan penentu pilihan, bila itu dianggap merugikan para pengambil keputusan yang selama ini mendapat keuntungan berlimpah,” masih kata Ade.

Sebagai sebuah aset, JICT tentu menggiurkan banyak perusahaan asing karena merupakan pelabuhan peti kemas terbesar di Indonesia yang mampu menampung 70% kegiatan ekspor impor dari kawasan Jabodetabek. JICT bahkan empat kali meraih predikat sebagai terminal berkapasitas di bawah 4 juta TEUs terbaik di Asia, yaitu pada 2011, 2012, 2015, dan 2016.

Pandangan ekonom Rizal Ramli sangat tegas. Bahwa, langkah Dirut RJ Lino jelas-jelas melanggar hukum, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Perlayaran. “Saya curiga ada sesuatu yang tidak beres dari proyek perpanjangan masa kontrak Hutchison Port Holding,” kata Rizal yang ketika itu menjadi Menko Kemaritiman dan Sumberdaya.

Jauh hari para aktivis SP-JICT sudah melakukan berbagai aksi damai agar manajemen membatalkan perpanjangan kontrak HPH. Risiko mereka hadapi dengan berbagai fitnahan, tekanan, ancaman, dan intimidasi. Organisasinya diberangus. Pentolannya dipecati walaupun sudah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai manajer, senior manajer, hingga general manajer.

Bahkan Koran Tempo mau memasang pernyataan Lino yang menyebut SP-JICT sebagai musuh negara karena menolak kehadiran Hutchison. Koran itu membuat sebuah tulisan headline dengan huruf kapital berjudul “KISRUH KERJA SAMA PENGELOLAAN PELABUHAN, DIRUT PELINDO II: PENOLAK HUTCHISON MUSUH NEGARA” (9 Agustus 2014). Pernyataan itu menanggapi unjuk rasa pekerja JICT di depan Istana Presiden, 8 Agustus 2014.

Klimaks perjuangan SP-JICT adalah dibentuknya Pansus Pelindo II DPR yang meliputi Komisi III (bidang hukum), Komisi VI (urusan BUMN), Komisi IX (urusan ketenagakerjaan), serta Komisi XI (yang membidangi masalah anggaran). Pembentukan pansus itu diputuskan pada rapat paripurna DPR pada 5 Oktober 2015.

Ketika itu Pansus menemukan sejumlah persoalan, di antaranya; soal kegiatan pengadaan barang dan jasa; perpanjangan perjanjian pengelolaan PT JICT antara Pelindo II dan HPH; program pembangunan dan pembiayaan Terminal Pelabuhan Kalibaru oleh Pelindo II; tata kelola perusahaan Pelindo II termasuk pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang sangat serius; serta kasus penerbitan Obligasi Global (Global Bond) senilai USD 1,58 miliar atau setara Rp21 triliun.

Pansus Pelindo II yang diketuai Rieke Diah Pitaloka dalam sidang paripurna DPR 17 Desember 2015 menyimpulkan Menteri BUMN dan Dirut Pelindo II tidak memenuhi asas pemerintahan yang baik. Juga, telah terjadi pelanggaran UU Ketenagakerjaan oleh Pelindo II dan JICT. Dari hasil kerjanya, Pansus pun menyampaikan lima butir rekomendasi.

Kelima rekomendasi itu adalah; pertama, pembatalan perpanjangan kontrak JICT 2015- 2018 karena terindikasi kuat telah merugikan negara dan menguntungkan pihak asing. Kedua, penghentian praktik pemberangusan serikat pekerja dan mempekerjakan kembali pekerja yang telah di-PHK. Ketiga, mendorong aparat penegak hukum untuk melanjutkan penyidikan atas pelanggaran undang-undang yang mengakibatkan kerugian negara.

Keempat, merekomendasikan kepada Menteri BUMN untuk segera menghentikan Dirut Pelindo II. Kelima, merekomendasikan kepada presiden RI untuk tidak serta-merta membuka investasi asing yang dalam jangka panjang merugikan bangsa Indonesia. (ban)

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini