BETULKAH letusan Gunung Semeru di Jawa Timur (4/12/021)  merupakan pertanda akan munculnya goro-goro?  Itulah pertanyaan mitologis yang  kadang muncul di masyarakat Jawa tradisional. Tentu, pertanyaan macam itu tidak  muncul di masyarakat Jawa  modern.

Bagi orang Jawa tradisional, Semeru  tak hanya nama sebuah gunung (yang muncul akibat tekanan magma dari dalam bumi), tapi juga “entitas hidup” yang selalu menunjukkan eksistensinya.

Mitologi  gunung sebagai entitas yang hidup merupakan kepercayaan kultural yang melekat dalam kehidupan orang Jawa dulu.  Mitos dan legenda itu telah memperkaya khasanah nilai-nilai kehidupan orang Jawa sehingga banyak memunculkan kearifan lokal yang berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Kebudayaan tradisional—pinjam pendapat Redfield—  hadir di tengah komunitas manusia yang menjalani kehidupan dengan latar belakang mitologi. Dengan demikian, mitologi adalah bagian yang tak terpisahkan dalam pembentukan peradaban manusia.

Orang Jawa kuno menyebut gunung tertinggi di Pulau Jawa ini dengan nama Mahameru. Mereka mengasosiasikannya dengan Gunung Himalaya di India, gunung tertinggi di dunia yang penuh mitos. Dari namanya, Mahameru — terjelaskan ia  sebagai gunung tertinggi di Jawa Dwipa (3. 676 meter di atas permukaan laut).  Di Indonesia, puncak Semeru hanya kalah tinggi dari Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat,  Puncak Jaya di Papua,  dan Kerinci di Jambi.

Nama  Semeru berasal dari mahameru.   Dalam bahasa Jawa Kuno,  arti kata  mahameru adalah maha puncak. Jadi Semeru adalah gunung yang  puncaknya  sangat tinggi.

Ketinggian puncak gunung ini, sejak lama menuai kekaguman. Seperti halnya puncak Himalaya yang dianggap sebagai atap bumi, bagi orang Jawa kuno, puncak Semeru juga dianggap sebagai atap buwono (bumi).  Di puncak buwono inilah, konon,  lima Satria Pandawa (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa) moksa, atau berada di nirwana (sorga).

Jejak arkeologis keagungan dan kesucian Gunung Semeru terlihat sampai sekarang. Di sekujur kaki dan bukit Semeru, misalnya,  banyak sekali situs-situs peninggalan  agama Hindu, baik berupa arca maupun tempat ibadah.

Orang Jawa Kuno percaya bahwa  Empu Barada bersemayam di Gunung Semeru. Empu Barada adalah  sosok suci yang dalam kepercayaan Hindu Jawa,  membagi wilayah kerajaan Prabu Airlangga menjadi dua: Janggala dan Kediri. Konon empu Barada membagi kerajaan itu dengan cara terbang sembari mengucurkan kendi yang berisi air.  Air itulah yang kemudian berubah menjadi sungai Brantas. Kali Brantas dianggap sebagai batas kerajaan Janggala dan Kediri.

Mitos kebesaran Gunung Semeru — seperti halnya Gunung Merapi di Yogyakarta — masih  tersimpam di pikiran orang Jawa Timur tradisional sampai sekarang.  Berbagai lukisan dari para perupa terkenal, misalnya, mengabadikan keindahan Semeru. Berbagai lagu,  dari langgam Jawa, keroncong, sampai pop ikut memuji kehebatan Mahameru.

Penyanyi terkenal “Di Radio” yang nyentrik, Gombloh misalnya, melalui grup Lemon Trees melantunkan keelokan berbagai danau yang ada di bukit Semeru. Ahmad Dhani dari grup band Dewa, juga  menuliskan lagu berjudul ‘Mahameru’. Lagu ini dinyanyikan Ari Laso, yang gayanya dimirip-miripkan  Rod Stewart, penyanyi legendaris Inggris yang terkenal itu (Subarkah, 2021).

Gunung Semeru sering sekali meletus. Sampai hari ini tercatat,  Semeru  sudah 87 kali meletus. Banyaknya letusan ini menunjukkan, Semeru adalah  gunung api yang sangat aktif. Seaktif  Gunung Merapi di  Jawa Tengah.  Kerajaan besar di Jawa Timur seperti Kediri dan Jenggala, bahkan Majapahit, diyakini sebagian  ilmuwan mengalami kehancuran karena letusan dahsyat Gunung Semeru.

Meletusnya Gunung Semeru Sabtu (4/12/021) lalu adalah sesuatu yang — secara logos atau rasional — bisa dimengerti. Ini karena secara geologis, Semeru berada dalam lintasan cincin api (ring of fire).

Ring of fire (cincin api) adalah zona —  di mana terdapat banyak aktivitas seismik —  yang terdiri dari busur vulkanik dan palung di dasar laut. Panjang cincin api ini  lebih dari 40.000 km  — membentang  dari barat daya Amerika Selatan (di bagian timur) hingga ke sebelah tenggara benua Australia (di sebelah barat). Pada zona cincin api inilah banyak terjadi gempa dan letusan gunung berapi. Sekitar 90% gempa bumi   dan letusan gunung api  terjadi di sepanjang ring of fire tadi.

Kenapa begitu banyak gempa dan erupsi gunung api di zona cincin api? Karena  ada begitu banyak  pergeseran pada lempeng  kulit bumi di sana. Di  antara lempeng  kulit bumi di zona ring of fire, misalnya,  sering berubah posisi dan ukuran dengan kecepatan 1-10 cm per tahun.  Dampaknya, jika terjadi desakan antarlempeng secara horizontal, terjadilah  gempa bumi. Jika desakan antarlempeng itu secara vertikal, terjadilah letusan gunung berapi.

Perlu dicatat, ketika lempeng kulit bumi bergerak dapat terjadi tiga kemungkinan:  (1) Lempeng-lempeng bergerak saling menjauhi sehingga memberikan ruang untuk dasar laut yang baru. (2) Lempeng-lempeng saling bertumbukan,  menyebabkan salah satu lempeng terdesak ke bawah. (3) Tepian lempeng meluncur tanpa pergesekan yang berarti.

Pergerakan lempeng-lempeng  kulit bumi  yang kemudian saling beradu ini bisa menimbulkan gempa tektonik  dahsyat dan tsunami besar. Hal tersebut perlu diketahui publik — tidak hanya diketahui para ahli geologi. Ini penting mengingat  Indonesia mempunyai  situs gempa terbanyak di dunia,  129 titik. Dengan demikian, Indonesia adalah salah satu negara paling rawan gempa dan tsunami di muka bumi. Dus, keberadaan gunung berapi dan dampaknya bagi kehidupan, tidak lagi dipahami secara mitologis. Tapi dipahami secara saintifis.

Bencana alam seperti gempa bumi, erupsi gunung api,  dan tsunami sering  menimbulkan banyak korban jiwa.  Untuk menyiasati hal tersebut, yang perlu dilakukan pemerintah adalah membangun dan mendidik masyarakat agar sadar dan tanggap terhadap bencana alam yang akan dan sedang terjadi.

Khusus di wilayah yang menjadi garis ring of fire — seperti di Pulau Jawa,  Bali, dan Nusa Tenggara yang padat penduduk —  kondisi waspada bencana gempa dan erupsi  gunung api perlu ditekankan kepada masyarakat secara kontinyu.  Dalam konteks ini, pemerintah pun sebaiknya menyediakan sistem peringatan dini (misalnya sirine, detektor, alat komunikasi, dan lain-lain) yang dapat diandalkan, terutama di daerah rawan bencana. Sehingga saat bencana terjadi, masyarakat langsung tahu apa yang harus dilakukan. Di samping itu, di zona terdekat
rawan bencana, pemerintah wajib mempersiapkan semua kebutuhan untuk penyelamatan penduduk.

Semua persiapan menghadapi bencana tersebut mutlak diperlukan. Agar korban bencana alam seperti erupsi gunung berapi dan tsunami bisa dikurangi hingga titik terendah. Syukur nol korban.

*penulis, Dr Ir Indra Iskandar adalah Sekjen DPR-RI

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini