Amidhan Shaberah (dok)

HAK Asasi Manusia (HAM) adalah hak kodrati yang secara alamiah ada di dalam diri manusia. Karena itu, HAM adalah parameter kemanusiaan itu sendiri yang harus dihormati oleh setiap insan sejak lahir sampai mati.

HAM berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup dan kemerdekaan manusia, yang tidak dapat diganggu gugat dan diabaikan oleh siapa pun. Oleh sebab itu, sudah seharusnya HAM dijunjung tinggi agar tercipta kondisi yang aman dan damai.

PBB saat ini dianggap menjadi pengawal HAM dunia. Negara-negara maju yang menjadi donatur utama PBB sering menjadi rujukan penghormatan manusia terhadap HAM. Akan tetapi, sampai saat ini, asumsi tersebut sering tidak sesuai kenyataan. Banyak terjadi pelanggaran HAM di dunia yang berawal dari kemunculan sebuah konflik antarnegara yang ironisnya dibiarkan PBB. Negara-negara besar yang mendominasi PBB justru menambah runyam permasalahan HAM tersebut, sehingga solusinya kabur.

Saat ini kasus penting duniaadalah masalah pelanggaran HAM dalam konflik Israel dan Palestina. Sejak meletusnya konflik Israel Palestina 7 Oktober 2023, dengan korban hingga saat ini mencapai sekitar 20 ribu orang, pelanggaran HAM di Gaza dan Tepi Barat seperti dibiarkan berlalu begitu saja. Padahal pelanggaran HAM tentara Israel atas penduduk sipil Palestina terpampang di depan mata dunia. Dan PBB nyaris tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa berteriak dan hilang bersama angin lalu.

Sebetulnya pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina tidak terjadi pada tahun 2023, sejak meletusnya konflik 7 Oktober 2023. Tapi sudah muncul sejak 23 Juni 2008, ketika terjadi sebuah penembakan pertama Israel kepada warga sipil Palestina. Pada saat itu, ketika warga sipil Palestina sedang mengumpulkan kayu bakar di dekat perbatasan Beith Lahia, wilayah perbatasan Israel-Gaza, tetiba, dua buah mortar (meriam) Israel mendarat di Gaza. Meskipun dalam peristiwa ini tidak ada korban jiwa, tetapi yang dilakukan Israel sudah dianggap melanggar prinsip kemanusiaan. Lebih lanjut, pada September 2008, Israel kembali mengirimkan dua mortar dan tiga roket yang ditembakkan ke Gaza. Dua bulan kemudian, pada Oktober-November 2008, konflik antara Palestina dan Israel semakin memanas. Dan meledak.

Sejauh ini roket dan mortar yang dilontarjan Israel ke Gaza telah menghancurkan gedung-gedung tinggi dan menewaskan banyak warga sipil Palestina. Serangan yang dilakukan Israel telah merusak dan menghancurkan banyak tempat tinggal, tempat ibadah, dan kantor PBB yang digunakan sebagai lembaga bantuan. Bagi rakyat Palestina, Israel telah mengambil hak-hak yang dimiliki oleh warga sipil, sehingga tindakan Israel itu masuk dalam kategori pelanggaran HAM. Dalam hal ini, PBB juga mengatakan bahwa blokade Israel terhadap Gaza merupakan kejahatan perang dan sudah melanggar HAM.

Secara konsisten, sekitar 500-700 anak-anak di Palestina, beberapa di antaranya masih berusia 12 tahun, ditahan dan diadili dalam rangka pengadilan taktis Israel. Negeri Zionis Yahudi itu menjadi satu-satunya yang menerapkan undang-undang penjara kepada anak-anak, khususnya anak-anak Palestina.

Bahkan disebutkan bahwa anak-anak ini diperlakukan kasar dan tidak diberi akses untuk menghubungi orang tua mereka. Meskipun undang-undang ini telah menimbulkan kontroversi, Israel disebut-sebut tidak mau merevisinya.

Menlu RI Retno Marsudi menyindir Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat yang membiarkan Israel melakukan pelanggaran HAM di Gaza. Padahal AS selama ini sering mendikte RI dalam masalah HAM.

“Pihak-pihak yang sering mendikte kami mengenai HAM, justru menjadi pihak yang kini membiarkan Israel melanggar hak asasi manusia,” kata Retno dalam “diskusi oundtable HAM” di Markas Dewan HAM PBB, Jenewa, Selasa (12/12/2023) lalu.

Retno mengatakan seluruh negara tidak boleh menerapkan standar ganda dalam menegakkan HAM. Sebab menurutnya, standar ganda adalah masalah terbesar di dalam penerapan HAM yang ideal.

Dalam kesempatan itu, Retno menegaskan saat ini mata dunia tengah menyaksikan pelanggaran HAM berat oleh Israel di Palestina, khususnya di Jalur Gaza. Retno menegaskan, tindakan Israel yang membunuh masyarakat sipil, merusak rumah sakit, tempat ibadah, kamp-kamp pengungsi, serta memberangus hak-hak dasar Palestina bukanlah bentuk pembelaan diri.

“Tindakan Israel tersebut jelas melanggar hukum humaniter internasional,” tutur Retno. Menlu pun mengajak semua negara untuk memperbaharui komitmen bersama terkait pemajuan HAM. Semua negara yang berkomitmen tak boleh diam dan berhenti memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan bagi Palestina.

“Saya juga sampaikan bahwa Indonesia sangat menyesali kegagalan Dewan Keamanan PBB untuk mengesahkan resolusi humanitarian ceasefire. Hal ini mencerminkan gagalnya sistem multilateral yang sudah ketinggalan zaman,” kata Retno. Lebih lanjut, Retno turut menekankan agar berbagai pelanggaran HAM di Gaza segera dihentikan. Ia mendesak dilakukan proses perdamaian yang sesungguhnya agar solusi dua negara bisa terwujud.
Ironisnya, di tengah ketidakmampuan PBB mengatasi problem HAM yang parah di Palestina, Kementerian Luar Negeri AS merilis laporan berjudul “Indonesia Human Rights Report 2022” yang membuat geger RI Oktober 2023 lalu. Dalam laporan itu, AS menyinggung masalah penerapan HAM di Indonesia, mulai dari kasus pembunuhan yang didalangi Ferdy Sambo hingga tragedi sepabola di Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022 yang menewaskan 135 orang.

“Permasalahan hak asasi manusia yang signifikan mencakup laporan yang bisa dipercaya mengenai: pembunuhan di luar hukum atau sewenang-wenang yang dilakukan pasukan keamanan pemerintah; penyiksaan polisi; kondisi penjara yang keras dan mengancam jiwa; penangkapan atau penahanan sewenang-wenang; pelanggaran serius dalam konflik di Provinsi Papua,” demikian laporan Kemenlu Amerika Serikat tersebut.

Laporan itu mengutip data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS) yang menyebut terjadi 16 kematian dari 50 kasus yang diduga karena penyiksaan dan penganiayaan aparat dari Mei 2021 hingga Juni 2022. Laporan tersebut di antaranya menyoroti konflik Wadas, kasus Fatya-Haris, tim Mawar, kasus gubernur non aktif Papua, Lukas Enembe, hingga sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Ironisnya Presiden Jokowi menerbitkan Inpres Nomor 2 Tahun 2023 terkait pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat, terutama untuk korban peristiwa politik 1965-1966 dari pihak PKI. Jokowi menginstruksikan untuk memberikan prioritas layanan kepada para korban agar segera mendapat dokumen kewarganegaraan. Komnas HAM mendata, dalam peristiwa politik 1965-1966 itu, korban hilang akibat “kebrutalan negara” dalam menindak pelaku makar oleh PKI mencapai 32.774 orang.

Yang dipersoalkan kenapa korban pelanggaran HAM tersebut hanya ditimpakan kepada anggota PKI. Bukankah PKI pun melakukan pembantaian terorganisir kepada rakyat, khususnya kaum muslim, dan tokoh-tokoh antiPKI baik dari militer dan sipil pada tahun 1948 di Madiun? Korban pembantaian sipil oleh PKI tersebut mencapai ribuan. Peristiwa tersebut tampaknya belum mendapat perhatian pemerintah. Di tahun 1965-1966 pun, PKI melakukan pembantaian massal (bukan hanya kepada para Jenderal Angkatan Darat di Jakarta) — tapi juga di katong-kantong partai komunis di Jateng dan Jabar. Ribuan rakyat anti-PKI tewas akibat pembantaian terstruktur dan massif itu.

Lalu, kenapa yang mendapat perhatian dan santunan sosial itu hanya dari kalangan PKI? Amelia Yani, putri Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani menyesalkan terbitnya Kepres No. 2 Tahun 2023 terkait solusi non-yudisial kasus HAM berat tersebut.
“Di 2023, Inpres-nya yang keluar yaitu instruksi presiden kepada 18 lembaga kementerian yang harus memberikan bantuan dan santunan kepada anak-anak, cucu, dan keturunan PKI. Itu yang membuat kami menyesal. Kami berusaha untuk bertemu Presiden, menyampaikan pandangan tentang Kepres tersebut. Ternyata sulit. Tidak bisa ketemu. Tapi tiba-tiba Kepres tersebut ditandatangani. Kita korban pelanggaran HAM oleh PKI itu dikesampingkan sama Presiden RI,” ujarnya dalam wawancara eksklusif yang ditayangkan di YouTube Tribunnews, Jumat (29/9/2023).

Bukankah kami dan ribuan orang-orang anti-PKI juga korban dari pelanggaran berat HAM yang dilakukan secara struktural dan masih oleh PKI? Tambah Amelia.
Masalah pelanggaran HAM berat di Indonesia, khususnya terkait dengan Peristiwa PKI Madiun 1948 dan G 30 S PKI 1965 hendaknya menjadi perhatian penuh pemerintah. Dalam solusi non-yudisial tersebut, pemerintah harus melihat permasalahan HAM secara adil. Tidak hanya membebek kepada tuntutan rejim HAM di Jenewa dan London yang cenderung menyudutkan Indonesia.

____ *Dr.K.H. Amidhan Shaberah adalah
Komisioner Komnas HAM (2002-2007)

Advertisement

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini